Pada awalnya, kata Benny, para migran asal Indonesia tergiur untuk bekerja di Thailand karena melihat iklan di media sosial.
"Melihat iklan medsos atau ditawari oleh teman di media sosial untuk bekerja di Thailand sebagai customer service," katanya.
Baca Juga:
Kantor Imigrasi Agam Gelar Sosialisasi Penguatan Program Desa Binaan di Kotim
Menurut Benny, mereka mendapat iming-iming gaji sebesar US$1.000 hingga US1.500. Para calon pekerja migran melakukan wawancara kerja secara daring melalui WhatsApp atau Zoom.
Ia menyebut Thailand menjadi negara transit sebelum akhirnya para korban TPPO tersebut dikirim melalui jalur darat secara illegal ke Myanmar.
"Setiba di Thailand, dijemput agen lokal, melanjutkan jalan darat melintasi perbatasan (sungai) Myanmar secara ilegal," ujarnya.
Baca Juga:
Maruli Siahaan: Penegakan Hukum Imigrasi Butuh Data Intelijen yang Lebih Kuat
Benny mengatakan para pekerja migran tidak dipekerjakan sesuai dengan apa yang diiklankan. Alih-alih bekerja sebagai customer service, mereka malah menjadi online scammer.
"Dipekerjakan sebagai online scammer, dengan target hasil penipuan. Sebelum masa kontrak selesai, harus membayar uang denda dan pengganti biaya rekrutmen," ujarnya.
Modus penyelundupan tersebut sudah sering terjadi dan kerap kali berulang. Namun, Benny mengklaim permasalahannya terletak di aparat penegak hukum yang masih lemah.