Menurutnya, penyandingan narasi dan konteks yang salah seperti itu membuat publik percaya pada informasi yang tidak benar.
“Ketika itu disajikan dengan konteks yang lain, dengan narasi yang lain, ‘Lihat, anggota Dewan joget-joget karena gajinya naik’. Nah, ini namanya ada dua konteks yang berbeda, satu gaji naik, satu lagi karena joget, ketika disambungkan itu collapse, saling numpuk,” kata Fahmi.
Baca Juga:
Ahli Kriminologi: Penjarahan Rumah Anggota DPR Sudah Direncanakan, Bukan Spontan
Dalam penjelasan lanjutan, Fahmi menyebut bahwa tumpang tindih narasi seperti ini kerap menjadi akar terbentuknya hoaks di media sosial.
“Sangat sering terjadi di media sosial kita, orang memotong-motong itu, disambung-sambungin, dan jadilah itu bisa kita bilang itu namanya hoaks, bisa mengarah ke arah tertentu karena ada framing, ada narasi,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa fenomena context collapse merupakan hal berbahaya karena bisa menimbulkan salah persepsi massal dan sudah pernah terjadi di berbagai peristiwa, termasuk saat pandemi COVID-19.
Baca Juga:
Pimpinan DPR Setujui Hentikan Hak Keuangan Anggota Nonaktif
“Ya, pendapat saya ini sesuatu yang berbahaya, ya. Sesuatu yang berbahaya, sesuatu yang sejak zaman COVID kemarin juga terjadi dan itu berbahaya sekali. Banyak orang kemudian nggak mau divaksin karena apa? Ditumpuk itu,” katanya.
Dalam sidang yang sama, MKD juga menanyakan analisis Fahmi tentang penggiringan opini menjelang demonstrasi Agustus yang ia teliti menggunakan Drone Emprit.
“Jadi yang kami analisis adalah apa yang terjadi sebelum 25 Agustus. Kami menemukan sejak tanggal 10 Agustus itu sudah ada narasi itu. Narasinya adalah akan ada demo. 10 Agustus. Demonya adalah demo buruh tanggal 25 sampe tanggal berapa. Dan isu berkembang terus, memang akan ada demo. Tapi saya perhatikan tanggal 14 mulai ada itu di TikTok,” ungkapnya.