WahanaNews.co | Ketua MPR RI, Bambang
Soesatyo alias Bamsoet, mengapresiasi dukungan civitas akademika Universitas
Warmadewa Bali agar MPR RI berwenang menyusun dan menetapkan Pokok-Pokok Haluan
Negara (PPHN).
Melengkapi dukungan serupa yang datang
dari Universitas Negeri Udayana Bali, Universitas Ngurah Rai Bali, Forum Rektor
Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), serta berbagai organisasi sosial kemasyarakatan
seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah,
hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN).
Baca Juga:
MPR Cabut Nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998
"Pada
masa pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia memiliki Garis-Garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Di pemerintahan Presiden Soeharto,
memiliki Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sejak era Reformasi, pola
pembangunan justru berubah karena berdasarkan visi dan misi presiden-wakil
presiden terpilih, yang dielaborasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
5-10 tahun. Menjadikan tidak adanya kesinambungan pembangunan. Tidak heran jika
kini banyak pihak menggaungkan kembali pentingnya haluan negara," ujar
Bamsoet, dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, di Universitas
Warmadewa, Bali, Senin (17/5/21).
Turut
hadir Ketua Yayasan Kesejahteraan Korpri Bali, Anak Agung Gede Oka Wisnumurti; Rektor Universita Warmadewa, Prof Dr Dewa Putu Widjana; Wakil Rektor I, I Nyoman Kaca; Wakil Rektor II, Ni Putu Pertamawati; Wakil Rektor III, I Wayan Parwata; serta para mahasiswa, dosen, dan civitas akademika
Universitas Warmadewa.
Ketua
DPR RI ke-20 ini menjelaskan, dukungan agar Indonesia kembali memiliki Haluan
Negara juga pernah disampaikan Presiden ke-3 Indonesia, BJ Habibie, saat beliau
menjadi narasumber diskusi di MPR pada 22 Agustus 2017.
Baca Juga:
Terima Ketum dan Pengurus PWI Pusat, Ketua MPR Dorong Peningkatan Kompetensi dan Profesionalitas Wartawan
Sebelumnya,
di akhir Maret 2014, dalam sebuah debat politik di Jakarta, Presiden BJ Habibie
juga menegaskan pentingnya Indonesia menghidupkan kembali Haluan Negara.
"Berbagai
negara dunia memiliki perencanaan pembangunan jangka panjang. Bahkan sejak
1953, China mengadopsi pola pembangunan menyerupai GBHN dalam merancang peta
jalan pembangunan untuk menatap China 2050. Ironisnya, Indonesia justru
meninggalkan pola tersebut. Namun belum telat bagi kita jika ingin kembali
menghidupkannya," jelas Bamsoet.
Wakil
Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, gagasan mereformulasikan sistem
perencanaan pembangunan nasional sebenarnya telah direkomendasikan MPR
2009-2014.
Kemudian
ditindaklanjuti MPR 2014-2019 dengan memunculkan gagasan melakukan perubahan
terbatas terhadap UUD NRI 1945, yaitu dengan mengembalikan wewenang MPR untuk
menetapkan pedoman pembangunan nasional "model GBHN", yang
dalam Rekomendasi MPR masa jabatan 2014-2019 disebut dengan nomenklatur
Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
"Amandemen
terbatas hanya berkaitan dengan dua pasal dalam Konstitusi. Antara lain
penambahan ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah
dan menetapkan PPHN serta penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur
kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan Presiden apabila tidak sesuai
dengan PPHN," terang Bamsoet.
Ketua
Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini kembali memastikan, hadirnya PPHN tidak
menyebabkan presiden kembali menjadi mandataris MPR yang harus menyampaikan
laporan pertanggungjawaban kepada
MPR.
Presiden - Wakil
Presiden tetap menjadi mandataris rakyat, yang dipilih secara langsung oleh
rakyat.
Proses
pemberhentian Presiden/Wakil Presiden juga tetap mengacu pada ketentuan yang
diatur dalam Konstitusi, yakni pada Pasal 3 Ayat (3) dan Pasal 7B Ayat (1).
"Amandemen
terbatas tidak akan mengarah kepada hal lain di luar
PPHN, seperti penambahan periodisasi masa jabatan presiden-wakil presiden.
Mengingat Pasal 37 Konstitusi telah mengatur secara tegas mengenai mekanisme
usul perubahan Konstitusi, yang tidak dapat dilakukan secara mendadak,"
tegas Bamsoet.
Wakil
Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Ketua Badan Bela Negara FKPPI ini memaparkan,
proses amandemen terbatas dimulai dengan terlebih dahulu diajukan oleh
sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR atau paling sedikit 237 pengusul.
Diajukan
secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah
beserta alasannya, serta melalui beberapa tahapan sebagaimana diatur dalam Tata
Tertib MPR.
"Karena
hanya akan membahas PPHN, amandemen terbatas konstitusi tidak akan membuka
kotak pandora yang menimbulkan hiruk pikuk dan mengganggu stabilitas politik
nasional," pungkas Bamsoet. [dhn]