WahanaNews.co | Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menyampaikan data bahwa sebanyak 75,63 persen lulusan universitas memilih bekerja di perkotaan.
Hasil data ini tentu berimplikasi pada program pengembangan desa oleh pemerintah yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Bahkan, jika dilihat dalam konteks segmentasi jenis pekerjaannya, 86,91 persen pekerja berpendidikan tinggi hanya tersebar di sektor formal tersier, seperti bidang perdagangan dan jasa.
Baca Juga:
BPS Catat Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Tengah Mencapai 9,89 Persen di Tahun 2024
Sedangkan sektor primer, seperti pertanian yang justru menjadi tumpuan kesejahteraan masyarakat dari segi bahan pangan mengalami penurunan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi menyebutkan, terjadi de-agrikulturisasi dalam distribusi pekerja lulusan universitas.
Jika terus dibiarkan, produksi pangan dikhawatirkan melemah dan krisis pangan akan terjadi.
Menurut Anwar, data ini, jika diagregatkan dengan seluruh data ketenagakerjaan sebenarnya agak berbeda. Mayoritas masyarakat banyak yang bekerja di sektor informal, terutama masyarakat pedesaan.
"Nah, mereka ini kelompok rentan karena tidak mendapat perlindungan dan hak-hak ketenagakerjaan. Tapi pengalaman ketika pandemi, sektor ini lebih bisa survive daripada sektor formal. Bahkan ketika sektor formal sedang tidak beroperasi,” kata Anwar dalam acara Sharing Session Keluarga Fisipol Gadjah Mada (Kafgama) 88 bertajuk “Post-Grad Transition: Persiapan Menghadapi Dunia Kerja” dikutip dari laman UGM, Selasa (26/9/2023).
Selain itu, sektor sekunder yang sebenarnya memiliki potensi besar pun juga kurang diminati oleh lulusan perguruan tinggi.
Baca Juga:
Kemensos dan BPS Bersinergi dalam Persiapan Pemutakhiran DTSEN
Anwar menekankan, contoh paling besar adalah dinamika di bidang pertanian, di mana intervensi dan program pengembangan yang dilakukan masih belum cukup untuk mengangkat potensi sektor pertanian desa.
Hambatan tersebut dinilai cukup berisiko dalam menghadapi bonus demografi penduduk di 2045, ketika 72 persen penduduk memasuki usia produktif.
Kemudian ia mencontohkan Jepang yang sudah 49 tahun produktif. Artinya sedikit lagi, Jepang akan memasuki masa penduduk usia tua. Hanya sedikit yang produktif.
"Nah, ini menjadi sebuah isu. Kalau kita bisa mengelola dengan baik akan menjadi berkah, kalau tidak akan menjadi musibah. Pertama, kalau seandainya periode keemasan ini bisa kita lakukan dengan baik, maka ketika dependency ratio ini meningkat, kita memiliki akumulasi saving yang cukup,” jelas Anwar.
Selain segmentasi sektor pekerjaan dan produktivitas, isu ketenagakerjaan lain muncul jika melihat tren pekerjaan di kelompok gen Z.
Saat ini berbagai sektor pekerjaan, khususnya perkantoran menerapkan sistem Digital Nomad atau WFA (Work From Anywhere).
Pekerja tidak dituntut untuk menetap di kantor, melainkan dibebaskan bekerja di mana saja selama terhubung dengan internet.
Bahkan beberapa praktik dilakukan selama bertahun-tahun bekerja di luar kantor, lalu memutuskan tinggal di tempat tujuan tersebut.
Metode ini banyak diminati oleh gen Z di sektor pekerjaan tersier perkotaan.
“Gen Z ini jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, itu jauh. Mereka memiliki kemampuan digital knowledge yang luar biasa. Mereka juga memiliki literasi digital dan kemampuan bahasa asing yang lebih baik," jelas Anwar.
Tapi kelemahannya adalah ketidakloyalan. Makanya konsep yang kita usung dalam ketenagakerjaan ini adalah paid based on hours. Ini yang sebenarnya mencoba diberikan oleh UU Ketenagakerjaan.
"Jadi, bukan melemahkan, tapi justru mengantisipasi ke depannya, bahwa nantinya pekerja tidak lagi dibayar sesuai upah bulanan, melainkan per jam,” imbuh Anwar.
Penyesuaian sistem tersebut tentunya tidak bisa dilakukan secara cepat dan mudah, mengingat masyarakat sudah terbiasa dengan sistem upah bulanan.
Tentunya, perlu adanya perumusan sistem yang lebih baik sesuai dengan kondisi yang ada.
Melalui langkah ini, sistem ketenagakerjaan diharapkan mampu membentuk masyarakat produktif yang mendapatkan jaminan penuh atas kesejahteraan dan hak-hak tenaga kerjanya.
[Redaktur: Zahara Sitio]