Oleh EDUARD LUKMAN
Baca Juga:
Sikapi Berbagai Isu Miring, Kemenko Polhukam Panggil Pengelola PIK
TANGGAL 17 Agustus 2021 kita memperingati Hari
KemerdekaanKe-76 RI.
Setiap
menyambut Hari Proklamasi kita teringat alamat sebuah lokasi di Jakarta, Jalan
Pegangsaan Timur Nomor 56, sekarang Jalan Proklamasi 56.
Baca Juga:
Jokowi dan Suara Parpol soal Amandemen UUD
Di bagian
depan rumah yang luas pekarangannya itulah pada 17 Agustus 1945 Soekarno dan
Mohammad Hatta mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Dari rumah
Bung Karno itulah perjalanan republik ini dimulai.
Di lokasi
yang pernah menjadi kediaman Bung Karno itu kini berdiri Gedung Perintis
Kemerdekaan (sebelumnya disebut Gedung Pola dan Gedung Proklamasi), sebuah tugu
yang di puncaknya ada kilatan petir, replika Tugu Peringatan Satu Tahun
Proklamasi, serta Monumen Pahlawan Proklamator.
Bagaimana
kisah rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu pernah menjadi kediaman Bung Karno
dan kemudian dikenang sebagai salah satu tempat bersejarah negeri kita?
Ada
serangkaian cerita tentang hal itu.
Bung Karno ke Jawa
Semenjak awal
pendudukannya di Indonesia, Jepang menyadari bahwa mereka membutuhkan dukungan
para pemimpin, tokoh politik, dan masyarakat negeri jajahannya ini.
Tokoh-tokoh
yang sudah dikenal luas masyarakat, apalagi yang kharismatik, didekati untuk
membantu pemerintah jajahan dan menggerakkan potensi rakyat di berbagai bidang.
Jelas,
pemerintah pendudukan Jepang memerlukan tokoh sekaliber Soekarno yang
aktivitasnya ketika itu sudah luas dikenal publik.
Sewaktu
Jepang menginvasi Indonesia, Bung Karno tengah dalam pengasingan politik oleh
pemerintah kolonial Belanda di Bengkulu.
Bung Karno
dipindahkan dari Ende, Flores, pada 1938.
Menyadari
posisinya kian terdesak, Belanda lalu mengungsikan Bung Karno dan keluarganya
ke Padang, dan menurut rencana terus ke Australia.
Namun, karena
Belanda panik dan ketiadaan transportasi untuk membawa Bung Karno keluar
Padang, beliau masih di Padang saat Jepang masuk kota tersebut, 17 Maret 1942
(Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik
Indonesia 1926-1998, 2005).
Kehadiran
segera Bung Karno di Pulau Jawa dinantikan Jepang dan kawan-kawan
seperjuangannya semasa pergerakan melawan pemerintah kolonial Belanda, antara
lain Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Namun,
mengingat situasi yang belum menentu di awal pendudukan Jepang, perjalanan Bung
Karno kembali ke Jawa sempat tersendat, bahkan agak dramatis.
Dengan sebuah
perahu bermotor berukuran panjang 8 meter, Bung Karno, istrinya, Inggit
Garnasih, Kartika (anak angkat mereka), dan Riwu (pembantu keluarga sejak di
Ende, Flores), dikawal dua tentara Jepang, bertolak dari Palembang, awal Juli
1942.
Ikut pula
dalam rombongan kecil tersebut, dua anjing peliharaan keluarga Bung Karno,
Ketuk Satu dan Ketuk Dua.
Setelah
mengarungi laut bergelombang yang membuat penumpangnya ciut hati dan mabuk
laut, selama empat hari, perahu itu mendarat di pelabuhan Pasar Ikan, Jakarta,
9 Juli 1942 (Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 1965. Cetakan ke-6, 2000; John D Legge, Sukarno: Sebuah Biografi
Politik, 1972; Lambert Giebels, Soekarno:
Biografi 1901-1950, 2001; Mohammad Hatta,
Indonesian Patriot: Memoirs, 1981).
Uniknya,
kisah perjalanan Bung Karno ini disinggung Tan Malaka dalam karya
monumentalnya, Madilog.
Di bagian
pendahuluan, Tan Malaka membandingkan pelayaran Bung Karno dari Palembang ke
Jakarta, dengan perjalanannya dari Teluk Betung ke tujuan yang sama, memakai
perahu layar kecil Seri Renjet yang sudah tua dan bocor di sana-sini.
Tan Malaka
menceritakan, sepanjang pelayaran gerak maju perahu layar tersebut dipermainkan
angin.
Sementara
perahu yang ditumpangi Bung Karno, menurut Tan Malaka, juga ditarik sebuah
kapal bermotor Jepang.
Alhasil,
kendati Teluk Betung lebih dekat ke Jakarta, perjalanan Tan Malaka memakan
waktu lebih lama (Tan
Malaka, Madilog, Teplok Press. Cetakan Ketiga, April 2000).
Sesampai di
Jakarta, apakah Bung Karno dan keluarganya langsung tinggal menetap di Jalan
Pegangsaan Timur 56?
Ada yang
mengatakan bahwa di hari pertama di Jakarta, Soekarno sekeluarga menginap di
kediaman Bung Hatta di Oranje Boulevard yang kini bernama Jalan Diponegoro
(John D Legge, 1972).
Namun, ada
juga catatan bahwa di Jakarta, keluarga Bung Karno awalnya menginap di Hotel
Des Indes, Harmoni, yang kemudian menjadi kompleks pertokoan Duta Merlin
(Ramadhan KH, Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno, 1988; Walentina W de Jonge, Sukarno-Hatta: Bukan Proklamator Paksaan,
2015).
Penguasa
militer Jepang memang sudah menyiapkan berbagai keperluan Bung Karno: kantor,
staf, mobil, dan sebuah rumah (Bob Hering, Soekarno: Bapak Indonesia Merdeka. Jilid 1,
1901-1945, 2003).
Ingin Rumah yang Luas
Beberapa buku
memastikan bahwa Soekarno dan keluarganya tidak langsung tinggal menetap di
Jalan Pegangsaan Timur 56, tetapi mulanya pernah di sebuah rumah cukup besar
bertingkat dua di jalan raya daerah elite Menteng, Oranje Boulevard (Lambert
Giebels, 2001; Ramadhan KH, 1988; Soebagijo IN (penyunting), Mr Sudjono: Mendarat dengan
Pasukan Jepang di Banten 1942, 1983).
Bung Karno
sendiri tidak jelas menyebut alamat rumah tinggalnya yang pertama di Jakarta.
Beliau hanya
mengatakan bahwa "Jepang telah menyediakan sebuah rumah bertingkat dua dan
manis potongannya, terletak di sebuah jalan raya Jakarta" (Cindy Adams, 2000).
Namun,
setelah beberapa waktu, Bung Karno dan Bu Inggit merasa kurang senang tinggal
di rumah bertingkat dua di Oranje Boulevard (kemudian dipastikan posisinya di
Jalan Diponegoro Nomor 11) itu (Lambert Giebels, 2001).
Bagi mereka,
rumah itu terasa tidak cukup luas untuk menerima tamu Bung Karno yang semakin
banyak.
Ketidaksenangan
tinggal di rumah bertingkat itu diakui sendiri oleh Bung Karno (Cindy Adams,
2000).
Bu Inggit
juga merasa selain rumah kurang besar, "suamiku tidak senang naik turun tangga
di rumah bertingkat itu" (Ramadhan KH, 1988).
Mereka ingin
tinggal di rumah yang lebih besar dan nyaman dengan halaman luas.
Persis 20
tahun yang lalu, Kompas memuat tulisan
seorang pelaku sejarah yang mengetahui asal mula Bung Karno tinggal di Jalan
Pegangsaan Timur 56.
Dalam
artikelnya berjudul "Merah Putih, Ibu Fatmawati, dan Gedung Proklamasi" (Kompas, 16 Agustus
2001), Chairul Basri menceritakan pengalamannya ikut mencarikan rumah untuk
Bung Karno.
Chairul Basri
yang pensiun sebagai mayor jenderal TNI AD, dan pernah menjadi Sekretaris
Jenderal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (1966-1979), kemudian
menuliskan kisah itu dengan lebih rinci dalam bukunya, Apa yang Saya
Ingat (2003).
Ceritanya
berawal ketika Chairul Basri diminta seorang pejabat Jepang, Shimizu Hithoshi,
dari badan propaganda, untuk mencarikan rumah bagi keluarga Bung Karno.
Bersama
seorang teman, Adel Sofyan, keduanya bersepeda berkeliling daerah Menteng.
Mereka
akhirnya menemukan sebuah rumah yang luas pekarangannya di Jalan Pegangsaan
Timur Nomor 56.
Keduanya
merasa rumah ini cocok bagi Bung Karno.
Chairul
teringat pesan Bung Karno: "Saya ingin mendiami rumah yang luas pekarangannya
agar saya dapat menerima rakyat banyak" (Chairul Basri, 2003).
Rupanya rumah
itu milik seorang Belanda yang sudah diinternir Jepang.
Istrinya
masih menghuni rumah tersebut.
Wanita
Belanda itu diminta mengosongkan rumah tersebut dan dipindahkan ke Jalan
Lembang, juga di daerah Menteng.
Bung Karno
setuju pindah ke Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56.
Memang, baik
dalam artikel di Kompas dua dasawarsa
lalu itu maupun dalam bukunya, Chairul Basri tidak menjelaskan apakah rumah di
Pegangsaan Timur itu rumah pertamaBung Karno di Jakarta setelah kembali
dari Sumatera ataukah rumah berikutnya setelah sempat menghuni rumah di Oranje
Boulevard.
Ketika
menempati rumah yang kemudian menjadi tempat diproklamasikannya Kemerdekaan
Indonesia, Bu Inggit Garnasih sempat tinggal di rumah tersebut.
Bu Inggit
merasa lebih nyaman di Pegangsaan Timur 56, yang selain luas halamannya juga
memiliki banyak kamar dan ada paviliunnya (Ramadhan KH, 1988).
Setelah
bercerai dengan Bu Inggit, Bung Karno menikah dengan Fatmawati.
Dalam
pernikahan yang berlangsung di Bengkulu itu, Juni 1943, Bung Karno diwakili
Sardjono, seorang kawan Bung Karno di Bengkulu (Cindy Adams, 2000; Lambert
Giebels, 2001; Fatmawati Sukarno, Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno, 2016).
Bu Fat lalu
pindah berkumpul dengan suaminya di Jakarta dan tinggal di Pegangsaan Timur 56.
Di rumah
itulah kemudian diselenggarakan pesta pernikahan mereka, 22 Agustus 1943
(Lambert Giebels, 2001).
Di rumah itu
pulalah Bung Karno dikaruniai putra pertama, Guntur Soekarnoputra, 3 November
1944. Di sana juga Bu Fat menjahit Bendera Pusaka kita.
Tulisan ini
memang hanya sebatas kisah awal rumah di Pegangsaan Timur 56 itu menjadi
kediaman Bung Karno.
Tentu banyak
kisah penting lain di rumah bersejarah tersebut.
Sayang,
bangunan asli rumah itu atas perintah Presiden Soekarno sendiri dibongkar awal
1962.
Semoga
tulisan ringkas ini mengingatkan kembali pada sekilas riwayat rumah yang pernah
menjadi kediaman salah seorang pendiri republik ini.
Sebuah rumah
tempat dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 76 tahun yang
lampau.
Dirgahayu Republik Indonesia. (Eduard Lukman, Peminat Sejarah Nasional Indonesia)-dhn
Tulisan ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Bung Karno, dari Oranje Boulevard ke
Pegangsaan Timur 56". Link untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/17/bung-karno-dari-oranje-boulevard-ke-pegangsaan-timur-56/.