WAHANANEWS.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, menilai keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI yang memberhentikan empat komisioner KPU Banjarbaru sebagai langkah yang tepat.
Menurutnya, kesalahan yang terjadi menyebabkan kerugian negara karena harus dilakukan pemungutan suara ulang (PSU).
Baca Juga:
Dede Yusuf: Stop Angkat Tim Sukses Jadi Honorer atau PPPK!
"Menurut saya, keputusan DKPP untuk memberhentikan mereka sudah tepat karena ada uang negara, uang rakyat yang hilang. Itu kan bersumber dari APBD," ujar Dede Yusuf, Minggu (2/2/2025), melansir Detik.
Dede mengugkapkan pentingnya koordinasi antara KPU daerah dengan KPU pusat dalam setiap pengambilan keputusan. Ia menyayangkan terjadinya PSU di Pilkada Banjarbaru akibat keputusan yang dinilainya tidak cermat.
"Ketelitian penyelenggara sangat dibutuhkan. Kasus di Banjarbaru ini berawal dari pembatalan pencalonan, sementara hanya ada dua pasangan calon. Akibatnya, ada pihak yang diuntungkan," jelasnya.
Baca Juga:
Heboh soal Anang Menyanyi Selepas Timnas Vs Filipina, Anngota DPR Angkat Suara
Ia mengingatkan bahwa penyelenggara pemilu di daerah seharusnya selalu berkoordinasi dengan KPU pusat sebelum mengambil keputusan besar.
Menurutnya, kesalahan yang terjadi telah membebani negara dengan biaya tambahan untuk PSU yang tidak sedikit.
"Seharusnya, saat menghadapi situasi seperti ini, KPU daerah segera berkonsultasi dengan pusat, bukan langsung membuat keputusan sendiri yang akhirnya berdampak besar seperti pencetakan ulang surat suara atau bahkan pemilu ulang," katanya.
Dede juga menyoroti bahwa kasus serupa terjadi di berbagai daerah, di mana terdapat 24 daerah yang harus melakukan PSU dan dua daerah yang menjalani pilkada ulang akibat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia menilai ada perbedaan interpretasi antara KPU dan MK yang menyebabkan kesalahan dalam pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya koordinasi dengan berbagai pihak sebelum memutuskan sesuatu yang berdampak besar.
"Banyak aturan yang ditafsirkan berbeda, mungkin MK memiliki interpretasi yang berbeda dari KPU. Namun, sebelum mengambil keputusan, mestinya dilakukan diskusi terlebih dahulu dengan MK dan KPU pusat agar tidak terjadi kesalahan yang berujung pada PSU," tegasnya.
Ia menambahkan bahwa anggaran daerah yang seharusnya bisa digunakan untuk hal lain malah terbuang akibat kesalahan penyelenggara pemilu.
Empat Komisioner KPU Banjarbaru Diberhentikan
Keputusan pemberhentian empat komisioner KPU Banjarbaru dibacakan langsung oleh Ketua DKPP RI, Heddy Lugito, dalam sidang putusan yang berlangsung di Ruang Sidang Utama DKPP, Jakarta, Sabtu (1/3/2025).
Perkara ini terdaftar dengan nomor 25-PKE-DKPP/2025 dan diadukan oleh mantan calon Wakil Wali Kota Banjarbaru, Said Abdullah, yang memberikan kuasa kepada Syarifah Hayana, Abdul Hanap, dan Daldiri.
"Mengabulkan permohonan pengadu untuk sebagian. Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu," ujar Heddy.
Empat komisioner yang diberhentikan adalah Ketua KPU Banjarbaru Dahtiar, serta tiga anggotanya: Resty Fatma Sari, Normadina, dan Hereyanto.
Sementara itu, seorang anggota lainnya, Haris Fadhillah, hanya mendapatkan sanksi peringatan keras.
"Keputusan ini berlaku sejak putusan dibacakan. KPU wajib melaksanakan putusan ini dalam waktu maksimal tujuh hari dan Bawaslu bertanggung jawab mengawasi pelaksanaannya," tambah Heddy.
Latar Belakang PSU Pilkada Banjarbaru
Pilkada Banjarbaru awalnya diikuti oleh dua pasangan calon, yaitu Erna Lisa Halaby-Wartono dan Muhammad Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah.
Namun, pada 31 Oktober 2024, KPU Banjarbaru membatalkan pencalonan pasangan Aditya-Said atas rekomendasi Bawaslu Kalimantan Selatan, yang menyatakan adanya pelanggaran administrasi.
Diskualifikasi tersebut berawal dari laporan pesaing mereka, Wartono, yang menuduh Aditya menyalahgunakan kekuasaan sesuai dengan Pasal 71 ayat (3) UU Pilkada.
Akibatnya, KPU tetap menggelar pilkada hanya dengan satu pasangan calon tanpa opsi kotak kosong di surat suara. Suara yang diberikan kepada Aditya-Said dianggap tidak sah.
Hasil pemungutan suara menunjukkan pasangan Lisa-Wartono memperoleh 36.135 suara sah atau 100% suara yang dihitung.
Sementara itu, suara tidak sah mencapai 78.736, dengan suara pasangan Aditya-Said dinyatakan nol.
Persoalan ini akhirnya dibawa ke Mahkamah Konstitusi, yang dalam putusannya memerintahkan PSU dengan format surat suara yang memuat dua pilihan: pasangan calon nomor urut 1 dan kolom kosong tanpa gambar.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]