Soal penerapan pidana mati, Surastini menjelaskan, Pasal 100 ayat (1) RUU KUHP mengatur bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan mempertimbangkan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri, peran terdakwa dalam tindak pidana, atau ada alasan yang meringankan.
“Ketentuan ini sudah sesuai dengan pertimbangan Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, yang menyatakan bahwa perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaknya dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun,” papar Surastini.
Baca Juga:
IKADIN Sambut Baik Disahkannya RUU KUHP Jadi Undang-undang
Sementara soal pasal penghinaan presiden, Surastini menegaskan bahwa aturan tersebut tidak dimaksudkan untuk menghidupkan kembali Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden yang telah dianulir MK.
Menurutnya, Pasal 218 RUU KUHP justru mengacu pada pertimbangan dan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 mengenai Pasal 207 KUHP yang menyatakan bahwa dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku pejabat tetap bisa dituntut dengan Pasal Penghinaan Terhadap Penguasa Umum tapi sebagai Delik Aduan.
Pasal ini, lanjutnya, tidak membatasi demokrasi dan kebebasan berpendapat, karena Pasal 218 ayat (2) RUU KUHP secara tegas telah membedakan kritik dan penghinaan, dan menegaskan bahwa kritik dimaksudkan untuk kepentingan umum sehingga tidak bisa dipidana.
Baca Juga:
RUU KUHP Disahkan Menjadi UU, Sekjen Kemenkumham : Alhamdulillah
Ketentuan ini selaras dengan pengaturan penghinaan terhadap kepala negara sahabat, dan juga merupakan pemberatan dari penghinaan terhadap warga negara biasa dan penghinaan terhadap pejabat.
“Pasal ini menutup kemungkinan dilaporkannya Penghinaan Presiden/Wapres oleh relawan/simpatisan Presiden/Wapres, karena hanya Presiden/Wapres yang dapat mengajukan pengaduan,” kata Surastini.
Sementara itu, terkait “pasal santet”, Surastini memberikan klarifikasinya.