WAHANANEWS.CO, Jakarta - Reformulasi kebijakan Pengelolaan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) dinilai semakin mendesak untuk mendukung percepatan program Asta Cita melalui pembangunan birokrasi yang lebih adaptif, kompeten, serta berfokus pada pencapaian dampak nyata.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) kini tengah menghimpun masukan dari para ahli, akademisi, hingga mitra strategis lintas sektor sebagai bagian dari penyusunan arsitektur kebijakan baru pengelolaan kinerja ASN.
Baca Juga:
76 ASN Nias Barat Terima Satyalancana Karya Satya di Hari Pahlawan, Ini Daftar Nama-namanya
“Kita harus memastikan ASN kita adalah high-performing talent. Dalam konteks kinerja kita harus bisa mencermati perencanaan kinerja seseorang saat menempati jabatan tertentu bahkan dapat dikaitkan dengan Asta Cita dan Program Prioritas Presiden," ujar Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian PANRB Aba Subagja saat memberikan sambutan dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Reformulasi Kebijakan Pengelolaan Kinerja Menuju Aparatur Sipil Negara (ASN) yang Sejahtera dan Berkinerja Tinggi, di Jakarta, Selasa, (18/11/2025).
Masukan dan kritik yang dikumpulkan diharapkan dapat memperkaya penyempurnaan kebijakan yang berlaku saat ini, yaitu Peraturan Presiden No. 30/2019 dan Peraturan Menteri PANRB No. 6/2022.
Penyempurnaan tersebut dirancang agar sistem kinerja ASN lebih terintegrasi dan berkelanjutan, di mana penilaian tidak hanya memotret capaian kinerja, tetapi juga mampu mendorong motivasi, peningkatan kesejahteraan, serta pengembangan talenta secara menyeluruh.
Baca Juga:
Beredar Surat Pemberitahuan Mutasi ASN di Bidang Pendidikan, BKPSDM Nias Barat Pastikan Hoaks
Dalam forum tersebut, PANRB mengidentifikasi tiga keluaran utama yang ditargetkan dari dialog bersama kementerian, lembaga, pemerintah daerah, maupun para pakar.
Pertama, terbangunnya pemahaman bersama mengenai penyelarasan panduan umum pengelolaan kinerja ASN yang menekankan orientasi hasil dan kesejahteraan.
Kedua, pemetaan isu krusial pada implementasi sistem kinerja di instansi K/L/D agar dapat menjadi fokus revisi kebijakan.
"Ketiga, kita akan mendapat kerangka kerja sementara sebagai masukan strategis yang akan ditindaklanjuti," sambung Asisten Deputi Pengelolaan Kinerja, Sistem Penghargaan, dan Pengakuan SDMA Kementerian PANRB Hidayah Azmi Nasution.
Azmi menjelaskan bahwa perumusan arsitektur kebijakan baru telah melalui serangkaian benchmarking dan telaah literatur internasional.
Benchmarking dilakukan terhadap Bank Indonesia, Astra International, dan Bank Rakyat Indonesia. Sementara itu, kajian literatur mengacu pada praktik pengelolaan kinerja di United States Office of Personnel Management, Australia Public Service Commission, serta United Kingdom Government sebagai referensi sistem birokrasi maju.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Departemen Sumber Daya Manusia Bank Indonesia (BI) Idah Rosidah turut berbagi pandangan dan pengalaman terkait implementasi Sistem Pengelolaan Kinerja di BI.
Lembaga itu dikenal memiliki tingkat maturitas pengelolaan kinerja yang tinggi, terutama karena keberhasilan mereka mengintegrasikan kinerja pegawai dengan sistem remunerasi, reward management, hingga pengembangan talenta.
Idah menekankan bahwa pengelolaan SDM tidak boleh sepenuhnya bersandar pada sistem digital atau mekanis, melainkan perlu mengedepankan pendekatan manusiawi.
“Manajemen SDM dilakukan 70 persen dan 30 persen dengan sistem,” paparnya. Ia juga menegaskan fleksibilitas dalam pengelolaan Pegawai: “Saya setuju dengan sudut pandang no size fits all dalam melakukan manajemen pegawai. Artinya tidak ada satu pendekatan, solusi, atau kebijakan yang dapat selalu diterapkan untuk individu atau situasi tertentu.”
Menurutnya, model pengelolaan kinerja di BI dapat diadaptasi untuk ASN sepanjang konsistensi dijaga di setiap level manajemen.
Ia menilai bahwa proses manajemen SDM di sektor pemerintahan sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan di BI, namun membutuhkan ketegasan arah serta kesinambungan praktik.
Idah juga menyoroti tantangan generational gap di dunia kerja, yakni perbedaan karakter, nilai, dan gaya bekerja antargenerasi yang semakin nyata dalam satu institusi.
Kondisi ini, kata dia, dapat memunculkan potensi miskomunikasi dan konflik, tetapi juga dapat menjadi sumber kekuatan organisasi apabila dikelola dengan tepat.
“Solusinya adalah humanizing human capital atau memanusiakan manusia dan jangan lupa melakukan suksesi agar tidak kehilangan talenta yang sedang dibangun,” tutupnya.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]