Namun, dia menuturkan ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan skema tersebut.
Pertama, terkait kepatuhan pembayaran iuran dari pemasok, seharusnya ada sanksi jika ada pelanggaran, seperti produsen tidak membayar patungan.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
"Kedua, bagaimana kemampuan keuangan PLN sendiri jika memang harus membayar dulu, apakah kuat misalnya jika dikejar-kejar," imbuhnya.
Kemudian yang ketiga, Mamit menggarisbawahi terkait pengawasan entitas khusus tersebut, harus ada kejelasan siapa yang akan melakukan pengawasan dan melakukan audit.
"Keempat, mekanisme pemilihan anggota badan tersebut, dan terakhir mudah-mudahan ini tidak memperpanjang jalur birokrasi," tandasnya.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menjelaskan pengamanan pasokan batu bara dalam negeri melalui peraturan DMO seharusnya sudah cukup jika dilakukan secara konsisten.
"Masalahnya bukan terletak pada bentuk skemanya, tapi konsistensi dalam menjalankan regulasi yang ada. Dalam UU Minerba dan aturan turunannya telah jelas bahwa perusahaan yang tidak serius terhadap DMO akan diberikan sanksi dengan berbagai bentuk dan tingkatan," jelas dia.
Menurut Komaidi, pembuatan Badan Layanan Umum (BLU) batu bara maupun berbentuk entitas khusus yang disarankan Komisi VII DPR tidak terlalu mendesak, namun juga tidak masalah jika dilakukan dengan konsekuensi yang mengikuti.