Ia mempertanyakan mengapa tanah pertanian produktif terus diperlakukan sebagai kawasan hutan, padahal di lapangan tidak ada hutan sama sekali.
“Mana ada hutan? Kenapa tanah-tanah pertanian produktif yang dikerjakan oleh kaum tani itu tidak kunjung dibebaskan dari klaim-klaim kawasan hutan? Tidak kunjung dilepaskan dari klaim Perhutani?” ujarnya.
Baca Juga:
BPN Jambi Diminta Tangguhkan HGU PT Kaswari Unggul Sebelum Konflik dengan Masyarakat Selesai
Akibat klaim tersebut, para petani tidak bisa mengangkut hasil panen dan tidak mendapatkan program pertanian dari pemerintah.
“Karena alasannya itu, ini adalah masih klaim Perhutani, masih PTPN, masih kawasan hutan, masih di dalam HGU,” tambah Dewi.
Menhut Raja Juli mengaku pernah datang ke Cilacap dan menyaksikan langsung hamparan padi, bahkan sudah berupaya agar lahan pertanian dilepas dari klaim kawasan hutan, tetapi terhambat oleh Perhutani.
Baca Juga:
Pemprov Sulteng Tangani 48 Kasus Konflik Agraria Antara Warga dan Perusahaan
“Karena memang ada macet di Perhutani. Jadi memang kehutanan Perhutani ini menjadi satu kunci penting,” kata Raja Juli.
Selain itu, Dewi juga menyoroti Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang dianggap tidak menindaklanjuti data-data konflik agraria yang sudah diberikan KPA.
Menurut Dewi, kementerian ATR adalah salah satu yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM dan Ombudsman RI terkait persoalan pertanahan.