Nasib serupa dialami petani di Kecamatan Sukasari, Sumedang, yang sejak 1965 menggarap lahan pertanian, tetapi sejak 1996 status desanya berubah menjadi kawasan hutan.
Mereka juga tidak mendapat dukungan infrastruktur dasar akibat status lahan tersebut.
Baca Juga:
BPN Jambi Diminta Tangguhkan HGU PT Kaswari Unggul Sebelum Konflik dengan Masyarakat Selesai
Menurut data KPA, satu persen kelompok elite menguasai 58 persen tanah, sumber daya alam, dan produksi di Indonesia, sedangkan 99 persen penduduk harus berebut sisa lahan.
“Ketimpangan ini mengarah pada meningkatnya jumlah konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah,” tegas Dewi.
Konflik agraria berdampak langsung pada 1,8 juta keluarga yang kehilangan tanah dan sumber penghidupan.
Baca Juga:
Pemprov Sulteng Tangani 48 Kasus Konflik Agraria Antara Warga dan Perusahaan
KPA juga menyoroti meluasnya proyek-proyek investasi besar seperti PSN, food estate, kawasan ekonomi khusus, hingga militerisasi pangan yang menggerus tanah petani dan wilayah adat.
“Proyek-proyek besar ini merampas tanah petani dan wilayah adat, serta menutup akses mereka terhadap laut dan wilayah tangkapnya. Hal ini terjadi karena lahan sudah dikapling-kapling oleh pengusaha besar,” kata Dewi.
Ia menutup dengan mendesak Presiden Prabowo segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional yang lebih otoritatif dan berada langsung di bawah kendali Presiden.