Lagipula perkara PUU hanya menyangkut norma, bukan kasus konkret. Dan pengambilan putusannya pun bersifat kolektif kolegial oleh 9 orang hakim konstitusi, bukan oleh seorang ketua semata. Demikian pula dalam alam demokrasi seperti saat ini, rakyatlah yang akan menentukan, siapa calon pemimpin yang akan dipilihnya kelak, sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
12. Dalam penanganan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, sebagai hakim karier, saya, tetap mematuhi asas dan norma yang berlaku di dalam memutus perkara dimaksud. Terkait dengan isu konflik kepentingan (conflict of interest), sejak era Kepemimpinan Prof Jimly, dalam Putusan Nomor 004/PUU-1/2003, Putusan 066/PUU-II/2004, Putusan Nomor 5/PUU- IV/2006 yang membatalkan Pengawasan KY Terhadap Hakim Konstitusi, maupun Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 49/PUU- IX/2011 di era Kepemimpinan Prof Mahfud MD, Putusan Nomor 97/PUU- XI/2013, Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 yang membatalkan Perppu MK di era Kepemimpinan Bapak Hamdan Zoelva, Putusan Perkara 53/PUU- XIV/2016, Putusan Nomor 53/PUU-XIV/2016 di era Kepemimpinan Prof Arief Hidayat.
Baca Juga:
PTUN Menangkan Anwar Usman, Waka Komisi III DPR RI: Putusan MKMK Cacat Hukum
Selanjutnya Putusan Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan tersebut, terhadap pengujian Pasal 87A karena norma tersebut menyangkut jabatan Ketua dan Wakil Ketua, dan ketika itu saya adalah Ketua MK, meskipun menyangkut persoalan diri saya langsung. Namun, saya tetap melakukan dissenting opinion, termasuk kepentingan langsung Prof Saldi Isra dalam pasal 87b terkait usia yang belum memenuhi syarat.
13. Dengan berbagai yurisprudensi di atas, yang pada intinya menjelaskan bahwa perkara pengujian UU di Mahkamah Konstitusi adalah penanganan perkara yang bersifat umum (publik), bukan penanganan perkara yang bersifat pribadi, atau individual yang bersifat privat. Maka, berdasarkan yurisprudensi di atas dan norma hukum yang berlaku, pertanyaannya adalah: Apakah sebagai Hakim Konstitusi dan Ketua MK, saya harus mengingkari putusan-putusan terdahulu? karena disebabkan adanya tekanan publik, atau pihak tertentu atas kepentingan tertentu pula? Atau saya harus mundur dari penanganan perkara 96/PUU-XVIII/2020, demi menyelamatkan diri sendiri?
Sebagaimana saya jelaskan di atas, jika hal itu saya lakukan, maka sama halnya saya menghukum diri sendiri, karena tidak sesuai dengan keyakinan saya sebagai hakim dalam memutus perkara.
Baca Juga:
MKMK: PTUN Jakarta Tidak Berwenang Adili Putusan Pemberhentian Anwar Usman dari MK
Bahkan, secara logis, sangat mudah bagi saya untuk sekedar menyelamatkan diri sendiri, dengan tidak ikut memutus perkara tersebut. Karena jika niat saya dan para hakim konstitusi, untuk memutus perkara tersebut, ditujukan untuk meloloskan pasangan calon tertentu, toh, juga bukan kami yang nantinya punya hak untuk mengusung calon, dan yang akan menentukan siapa calon pasangan terpilih kelak, tentu rakyatlah yang menentukan hak pilihnya melalui pemilihan umum.
14. Telah berulangkali saya sampaikan di hadapan publik, nukilan ayat Quran dan kisah-kisah di zaman Rasulullah, dan para sahabat, tentang pentingnya berlaku adil, apalagi bagi seorang hakim. Namun, fitnah yang keji justru datang kepada saya, bahwa saya dianggap menggunakan dahil agama, untuk kepentingan tertentu. Padahal, hal tersebut saya lakukan, karena merupakan keyakinan saya sebagai seorang muslim, dan berlatar belakang saya, yang merupakan alumni Pendidikan Guru Agama Islam.
15. Saya tidak pernah berkecil hati sedikitpun, terhadap fitnah yang menerpa saya, namun fitnah keji yang menerpa saya, bahwa saya memutus perkara tertentu berdasarkan kepentingan pribadi dan keluarga, hal itulah yang harus diluruskan. Seorang negarawan, harus berani mengambil keputusan demi generasi yang akan datang, berbeda halnya dengan politisi yang mengambil keputusan berdasarkan kepentingan pemilu, yang sudah menjelang. Putusan MK, tidak berlaku untuk saat ini saja, melainkan berlaku untuk seterusnya.