Diwawancara terpisah, Johanis kemudian menjelaskan lebih lanjut soal idenya itu. Johanis lalu membandingkan penggunaan keadilan restoratif kepada Mike Tyson dalam kasus pemerkosaan. Diketahui, Mike membayarkan kepada negara sebelum masa hukumannya habis.
"Sebelum habis masa hukuman dia membayar kepada negara, setelah dia membayar dia bebas. Setelah bebas dia takut melakukan perbuatan kejahatan, karena apa, 'saya capek cari duit, saya ditangkap, hanya untuk bayar lagi'," kata Johanis kepada wartawan seusai rapat fit and proper test.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
Dia mengatakan keadilan restoratif dalam kasus korupsi tetap punya efek jera kepada pelaku. Sebabnya, pelaku harus membayarkan denda dan kerugian negara atas korupsi yang dilakukannya.
"Sekarang di Belanda, rutan kosong, karena berapa besar biaya untuk memproses satu proses perkara. Sementara yang namanya korupsi, negara berusaha jangan sampai uang negara keluar, tapi dengan proses begitu berapa banyak uang negara yang harus keluar," ujar Johanis.
Selain itu, lanjut Johanis, penerapan keadilan restoratif membuat negara tak perlu mengeluarkan biaya dalam memproses perkara kasus korupsi.
Baca Juga:
Skandal e-KTP Memanas Lagi, Dua Tersangka Baru Muncul
Dia kemudian menyinggung kasus Hambalang ketika negara mengeluarkan biaya untuk perkara tersebut.
"Kalau uang negara sudah keluar, tambah lagi proses berapa lagi uang negara keluar. Ini yang harus dipikirkan negara, sehingga dana negara untuk pembangunan demi keadilan masyarakat bangsa dan negara itu tercapai," ujar Johanis.
"Sekarang teman-teman mikir, itu ada Hambalang. Prosesnya berapa biayanya keluar. Pembangunan tidak berjalan. Untuk apa, berapa negara rugi di situ. Nah, ini yang kita pikirkan bagaimana caranya, sehingga meskipun ada proses pembangunan tetap berjalan. Ilustrasinya begitu," imbuh dia. [rin]