Eisha melihat perekonomian domestik rupanya tumbuh 5,1% (YoY) pada Q-1 2024, Sebuah capaian tertinggi untuk triwulan pertama dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
"Namun, pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh Ramadhan dan konsumsi pemerintah, terutama belanja pemerintah untuk bantuan sosial dan pemilu. Dengan demikian disayangkan, ekonomi domestik belum bisa terdorong oleh kegiatan sisi produksi yang maksimal." Ungkapnya.
Baca Juga:
Pemprov Sulteng Dukung Penguatan Ketahanan Pangan Nasional, Jadi Lumbung Pangan Utama
"Maka dari itu, program baru pemerintah oleh elected president menjadi fokus yang penting adalah program makan siang gratis/makan bergizi yang memberikan dampak pada anggaran fiskal adalah peningkatan belanja yang meningkatkan pengeluaran pemerintah secara signifikan, perkiraan awal menunjukkan kebutuhan anggaran mencapai Rp460 triliun, setara 7,23% dari total belanja negara dalam APBN 2024 (Rp3.325,1 triliun)." Jelas Eisha.
"Beban utang pada 2023 mencapai 1,65% terhadap PDB, dengan total utang Rp347,6 triliun. Disisi lain, utang nasional Indonesia sudah mencapai Rp 7.700 triliun per Maret 2024. Penambahan utang untuk program ini dikhawatirkan akan memperburuk situasi fiskal dan membebani stabilitas ekonomi" tegasnya.
"Program makan siang gratis juga berdampak besar terhadap neraca perdagangan. Program ini dapat meningkatkan defisit perdagangan Indonesia karena biaya yang diperlukan akan meningkatkan impor dan mengurangi ekspor." Sambungnya.
Baca Juga:
Kinerja Pendapatan Negara Tahun 2024 Masih Terkendali, Menkeu: Ada Kenaikan Dibanding Tahun 2023
Dr. Handi Risza, Ekonom Universitas Paramadina memandang dunia sedang dihantui dengan tiga permasalahan utama (triple horror) yaitu inflasi tinggi, tingkat suku bunga tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Diperkirakan kondisi tersebut akan berlangsung lama yang berdampak kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
"Di dalam negeri sendiri, terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi di mana rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,9 persen. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut, sulit bagi Indonesia untuk dapat naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi atau mengejar ketertinggalan pendapatan per kapita dari negara maju" tegasnya.
Handi memaparkan mengenai angka ratio Gini pada bulan Maret 2023 sebesar 0,388, mengalami peningkatan 0,007 poin jika dibandingkan dengan angka di bulan September 2022 sebesar 0,381. Angka ini menunjukkan tingkat ketimpangan semakin melebar.