WahanaNews.co | Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menggelar Seminar Nasional bertema ‘Perempuan Indonesia untuk Parlemen.’
Seminar yang dilaksanakan secara hybrid itu sebagai upaya mendukung keterwakilan perempuan di parlemen.
Baca Juga:
Menteri PPPA Kawal Kasus Kekerasan Anak di Banyuwangi
Plt. Sekretaris Kemen PPPA, Titi Eko Rahayu mengemukakan keterwakilan perempuan di parlemen dan partisipasi politik perempuan merupakan hal penting dalam memastikan hadirnya kebijakan-kebijakan yang mendukung, memberdayakan, dan memfasilitasi kebutuhan perempuan di berbagai bidang pembangunan.
“Keterwakilan perempuan di parlemen dan partisipasi politik perempuan dalam Pemilu bukan hanya sekedar angka semata, tetapi dengan adanya keterwakilan perempuan di parlemen maupun partisipasi politik mampu memastikan hadirnya kebijakan-kebijakan yang mendukung dan memberdayakan perempuan, serta berkontribusi dalam perubahan yang nyata dan dirasakan perempuan. Salah satu bukti nyata yang dirasakan bersama, pada 2022 setelah perjuangan panjang, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) berhasil disahkan dan hadir untuk memastikan perlindungan bagi perempuan,” kata Titi dalam seminar tersebut belum lama ini.
Titi menekankan meskipun adanya kebijakan afirmasi terhadap perempuan di bidang politik, keterwakilan perempuan di parlemen harus terus didorong dan diperjuangkan karena kesenjangan dalam partisipasi perempuan di dunia politik masih dirasakan.
Baca Juga:
Kemen PPPA Kawal Kasus Penyekapan Anak di Jakarta
Keterwakilan perempuan masih belum setara di lembaga legislatif karena perempuan kerap kali masih terbelenggu dalam sistem budaya yang belum sepenuhnya dapat menerima kehadiran dan partisipasi penuh perempuan dalam berbagai bidang, salah satunya politik.
“Perempuan adalah pembangun peradaban, setiap anak yang lahir di dunia, bertumbuh menjadi pemimpin, tidak lepas dari peran perempuan. Perempuan merupakan individu dengan kepekaan emosional sehingga dampak keterlibatan perempuan dalam politik mampu membangun pendekatan-pendekatan keberpihakan yang lebih humanistik dan melibatkan Perempuan,” ungkapnya.
Momentum Pemilu 2024 ini, kata dia, diharapkan dapat menggugah kesadaran kita bersama untuk mewujudkan dan mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen.
“Mari bersama-sama kita teguhkan komitmen untuk mewujudkan parlemen yang lebih baik dengan mendukung keterwakilan perempuan calon legislatif yang berkualitas,” tutur Titi lagi.
Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Lenny N. Rosalin menyampaikan Seminar Nasional tersebut bertujuan tidak hanya untuk mendorong dan mendukung keterwakilan perempuan di parlemen semata, tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
“Peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen harus disertai dengan pengawalan dan perjuangan yang berpespektif gender, dan dilakukan secara berkelanjutan di dalam proses politiknya. Kita harus memastikan kuota keterwakilan perempuan di parlemen tidak akan efektif jika kesetaraan gender, pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan politik perempuan masih minim. Seluruh pihak perlu bahu-membahu membuka ruang seluas-luasnya, bukan hanya kesempatan bagi perempuan untuk terlibat, tetapi juga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan peningkatan keterampilan politiknya. Peran perempuan di legislatif diharapkan dapat memberikan dampak positif antara lain dikaitkan dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang responsif gender,” jelas Lenny.
Pada kesempatan tersebut, perwakilan peserta yang hadir dari berbagai pemangku kepentingan membacakan Komitmen Perempuan Indonesia pada Pemilu 2024, yakni (1) Mendorong para perempuan Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2024; (2) Mendukung keterwakilan perempuan di parlemen pada Pemilu 2024; (3) Mendorong kepada seluruh pemilih untuk memberikan kesempatan kepada calon legislatif (caleg) perempuan yang berkualitas; dan (4) Mendorong perempuan Indonesia untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu dan menghindari politik transaksional demi terwujudnya Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil). Kemen PPPA pun meluncurkan kampanye digital ‘Dukung Keterwakilan Perempuan di Parlemen’ dengan hashtag#2024DukungKeterwakilanPerempuandiParlemen.
Seusai peluncuran, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi panel dan dialog bersama narasumber yang kompeten di bidangnya, diantaranya Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Betty Epsilon Idroos; Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Hurriyah; Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini; dan para Aktivis Politik Perempuan, Kanti W. Janis, Ammy Amalia Fatma, dan Tsamara Amany untuk membahas pelibatan perempuan Indonesia di politik dan parlemen, tantangan dan hambatan, berbagi praktik baik, dan pengalaman nyata perempuan dalam dunia politik.
Anggota KPU RI, Betty Epsilon Idroos mengatakan bahwa salah satu tantangan caleg perempuan dalam Pemilu 2024 adalah persepsi sebagian masyarakat yang masih menganut nilai sosial dan budaya yang cenderung patriarki.
Kondisi ini, membuat masyarakat mengesampingkan sisi rekam jejak politik, aspek intelegensia, kemampuan manajerial, dan kualitas kepemimpinan caleg perempuan.
Selain itu, tantangan keterpilihan perempuan adalah kecenderungan partai politik (parpol) yang menempatkan caleg perempuan pada nomor urut 3 pada aturan minimal satu perempuan dalam tiga calon.
Dalam sistem proporsional terbuka, perempuan dimanfaatkan hanya untuk mendulang suara, tapi tidak diharapkan untuk terpilih.
Aksi afirmasi pencalonan perempuan hanya memberikan akses mendorong pencalonan perempuan, sementara pada proses kontestasi untuk mendapatkan kursi masih terdapat ketimpangan dalam strategi berpolitik, mengakses informasi, dan berelasi dengan calon konstituen.
Lebih lanjut, Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini menyampaikan perempuan kerap kali menghadapi berbagai hambatan dalam upaya keterlibatan dan keterpilihan perempuan dalam politik.
Adapun hambatan yang sering ditemui, diantaranya (1) diskriminasi dan inkonsistensi regulasi terkait pelibatan perempuan di politik; (2) faktor sosial dan kultural masyarakat yang masih mendiskriminasikan perempuan; (3) politik biaya tinggi; (4) politik transaksional di pemilu; (5) politik afirmasi keterwakilan perempuan masih dianggap sebagai beban oleh partai politik, sehingga tidak adanya kaderisasi, pendidikan, dan penguatan kapasitas politik yang berkesinambungan; (6) perempuan dianggap kurang kompetitif dibanding caleg laki-laki; dan (7) perempuan masih kesulitan dalam memberikan suara secara sah.
Direktur Eksekutif Puskapol FISIP UI, Hurriyah mengemukakan perlunya memperbaiki kualitas Pemilu untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, antara lain dengan meningkatkan kualitas literasi politik pemilih.
“Kita tidak sedang memperbaiki kesetaraan politik di dalam Pemilu, tetapi PR (pekerjaan rumah) besar adalah memperbaiki kualitas Pemilu kita. Ketika kondisi ideal itu terjadi, Hurriyah optimistis dukungan terhadap politisi perempuan bisa meningkat,” kata Hurriyah.
Sementara itu, Aktivis Politik Perempuan, Kanti W. Janis menegaskan, perempuan yang nantinya bisa terpilih sebagai wakil rakyat, diharapkan tidak hanya mendapat jabatan ‘pemadam kebakaran’ semata.
Tetapi keberadaannya nanti, diharapkan bisa berkontribusi pada ruang lingkup yang bukan hanya membahas masalah perempuan saja.
“Keberadaan Anggota Legislatif (Aleg) perempuan harus ditaruh di komisi-komisi yang menyelesaikan akar permasalahan, kembali ke masalah ekonomi, masalah lingkungan hidup, masalah pendidikan, dan keamanan,” ujar Kanti.
Aktivis Politik Perempuan, Ammy Amalia Fatma menambahkan bahwa kondisi politik perempuan saat ini cukup memprihatinkan dengan adanya statemen dari elit partai yang menyebutkan sulit mencari politisi perempuan yang memiliki kapasitas dan kualifikasi untuk dijadikan caleg.
“Keterlibatan perempuan dalam politik saat ini mengalami kemunduran. Menurut saya, tidak susah mencari calon politisi perempuan yang pintar, berkapasitas, dan berwawasan, banyak sekali, namun tantangannya hanya satu, mau atau tindak dalam mengikutsertakannya,” jelas Ammy.
Sementara Aktivis Politik Perempuan, Tsamara Amany mengatakan agar perempuan mampu berkecimpung di dunia politik diperlukan berbagai upaya berkesinambungan, salah satunya dengan kemandirian ekonomi.
“Para perempuan yang ingin berkecimpung di dunia politik dan belum memiliki kemandirian secara ekonomi akhirnya harus dependensi, seperti menerima uang dari suami ataupun lain sebagainya. Terkadang dari situlah perempuan kesulitan untuk keluar dari hubungan atau relasi yang toxic dan abusive karena perempuan tidak independen.
Ia juga menambanhkan bahwa sangat penting bagi perempuan untuk mampu mandiri secara ekonomi, sehingga perempuan mampu mengambil keputusan atas dirinya sendiri.
“Pemerintah dan berbagai pihak terkait pun bertanggung jawab dalam menciptakan regulasi-regulasi dan ekosistem yang mampu mendukung kemandirian ekonomi perempuan,” tutup Tsamara.
[Redaktur: Zahara Sitio]