WahanaNews.co | Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Ardian Noervianto menegaskan, uang kas pemda yang tersimpan di bank bukan direncanakan untuk semata-mata mencari bunga.
“Itu dilakukan untuk mempersiapkan pembayaran yang sudah memiliki peruntukannya,” terang Ardian, dikutip melalui keterangan pers resminya, Jumat (17/9/2021). Menurutnya, pemda memiliki kecenderungan untuk menyediakan sejumlah uang untuk mempersiapkan pembayaran gaji aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai honorer satu sampai dua bulan ke depan.
Baca Juga:
Pj. Wali Kota Tegal Agus Dwi Sulistyantono Hadiri Pembahasan APBD 2025 Kota Tegal
“Sebagai bentuk spare dan bukan disengaja untuk mencari bunga, sekali lagi bukan,” tegasnya. Hal tersebut disampaikan Ardian dalam agenda dialog interaktif yang diselenggarakan Kemendagri melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Keuda bertajuk “Membedah Uang Kas Pemda di Perbankan” secara virtual, Kamis (16/9/2021).
Selain Dirjen Bina Keuda, turut hadir pula Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo dan Wali Kota (Walkot) Bogor Bima Arya Sugiarto. Dalam pemaparannya, Ardian menjelaskan, berdasarkan data Bank Indonesia (BI) per 31 Agustus 2021, jumlah kas pemda adalah Rp 178,9 triliun.
Namun, jumlah ini pada awal bulan berkurang setelah digunakan. “Pada 1 September 2021 uang keluar dan berkurang untuk mendanai pengeluaran pemda per bulan untuk belanja rutin dan mengikat sejumlah Rp 42,76 triliun,” jelasnya.
Baca Juga:
Dinsos Kotim Hentikan Sementara Penyaluran Bansos Hingga Pilkada 2024 Usai
Belanja rutin itu, sebut dia, antara lain gaji dan tunjangan, belanja operasional (telepon, air, listrik, dan internet), serta belanja terkait pelayanan publik, termasuk pengeluaran mendesak yang tidak bisa diprediksi sebelumnya.
Merespons pernyataan Ardan, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menjelaskan skema penyimpanan uang pemda di bank. Ganjar menjelaskan, ada alasan mengapa uang daerah mengendap di bank.
Menurutnya, pada awal tahun anggaran, rekening umum kas daerah (RKUD) sudah memiliki saldo mengendap berupa sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) dari tahun sebelumnya.
“Di sisi lain, yang telah masuk ke RKUD tidak dapat segera digunakan untuk melakukan pembayaran belanja,” ujar Ganjar.
Pelaksanaan program pun, kata Ganjar, memerlukan proses dan jangka waktu yang cukup lama. Hal ini sesuai dengan Undang-undang (UU) Perbendaharaan Negara Pasal 21.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa pembayaran atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tidak boleh dilakukan sebelum barang atau jasa diterima.
“Pembayaran yang dapat dilakukan mendahului prestasi hanya untuk pembayaran uang muka. Namun, apakah kemudian kami mencari bunga? Enggak sama sekali,” terangnya.
Senada dengan Ganjar, Bima mengungkapkan, setiap daerah memiliki kas yang disimpan di bank. Kas ini ada untuk menyimpan seluruh penerimaan dan membayar semua pengeluaran daerah.
Tak hanya itu, Bima turut menyinggung berbagai faktor yang membuat adanya pengendapan kas daerah di bank, salah satunya adalah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa).
“Di Kota Bogor, kita tidak melakukan penyimpanan uang, apalagi untuk mendapatkan keuntungan bunga, tidak seperti itu,” tegasnya.
Menurut dia, apabila saat ini masih ada saldo pemda di bank, maka itu akan digunakan untuk membayar kegiatan pada periode akhir tahun ini. “Sedangkan saldo pada akhir tahun dihitung sebagai Silpa 2022 yang akan digunakan untuk membiayai kegiatan yang bersifat wajib dan mengikat, seperti gaji ASN, pembayaran listrik, pengelolaan sampah, dan lain sebagainya,” papar Bima.
PAD sempat alami kontraksi akibat pandemi Masih dalam dialog tersebut Ardian menjelaskan bahwa sektor pendapatan asli daerah (PAD) sempat mengalami kontraksi akibat pandemi Covid-19.
“Hampir seluruh sektor PAD mengalami penurunan, contohnya perhotelan dan restoran. Kondisi ini diperparah dengan adanya dana transfer pusat yang turut terkoreksi akibat refocusing dan ketidakpastian realisasi pendapatan daerah dari PAD,” paparnya.
Namun, kata dia, setidaknya Kemendagri mencatat tiga jenis retribusi yang naik, yakni belanja kesehatan, pelayanan pemakaman, dan pengendalian menara telekomunikasi.
“Untuk itu pemda diberikan kesempatan melakukan manajemen kas melalui mekanisme penyimpanan di bank hingga waktu dicairkan sesuai peruntukan,” kata Ardian.
Begitu pendapatan pemda terkontraksi, kata dia, pemda mungkin berpikir bagaimana membayar listrik, pelayanan publik, pendidikan, dan lain-lain.
“Jadi ada terkesan pemda menyimpan uang. (Padahal) itu sudah ada peruntukannya, tinggal momentum kapan dibayarkan,” terangnya. Ia pun mencontohkan alokasi belanja modal pemda dalam APBD sejumlah Rp 192,32 triliun atau 15,91 persen dari total belanja daerah provinsi dan atau kabupaten atau kota.
Pembayaran atas belanja modal yang dimaksud memiliki tahapan sesuai kontrak, jadi tidak bisa langsung digelontorkan di depan.
“Saat pemda butuh, bahkan hingga hari ini sekalipun, langsung kontak ‘kembalikan uangnya, mau kita bayar’. Itu bisa langsung dicairkan. Jadi deposito di bank itu dalam rangka manajemen kas,” imbuhnya.
Setelah itu, Ardian menjelaskan, Kemendagri menjalani monitoring dan evaluasi harian terhadap realisasi APBD yang dimaksud ke seluruh pemda. “Ini sesuai dengan arahan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Tujuannya adalah untuk optimalisasi dan percepatan,” kata dia. [rin]