WahanaNews.co | Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mendorong sinergi lintas pihak untuk memastikan pemberitaan terkait kekerasan seksual dapat berperspektif gender dan mengedepankan kepentingan terbaik bagi korban.
Hal ini disampaikan Menteri PPPA dalam Workshop Etika Jurnalistik pada Pemberitaan Kekerasan Seksual melalui Pendekatan Perlindungan Korban dan Responsif Gender yang diselenggarakan oleh JalaStoria, belum lama ini.
Baca Juga:
Arifah Fauzi Sebut 3 Program Prioritas Kemen PPPA Butuh Sinergi Antar Kementerian dan Lembaga
“Mari kita bergerak bersama sesuai dengan tugas dan fungsi kita masing-masing, baik itu Kemen PPPA, Dewan Pers, Kementerian/Lembaga, dan media untuk kita bisa memberikan perlindungan yang terbaik kepada korban. Kehadiran teman-teman media pun menjadi penting untuk memberikan edukasi kepada masyarakat,” kata Menteri PPPA.
Melalui workshop ini, JalaStoria bersama dengan Kemen PPPA, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan konstituen Dewan Pers akan menyusun modul, kurikulum, atau bahan ajar terkait etika jurnalistik pemberitaan kekerasan sesual yang diharapkan dapat menjadi bagian dari kebijakan Dewan Pers.
“Kami menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya atas inisiasi yang dilaksanakan JalaStoria. Kemen PPPA siap untuk menjadi pendamping dalam penyusunan modul dan peningkatan kapasitas teman-teman media. Hadirnya teman-teman media sebagai mitra Kemen PPPA akan menjadi kekuatan kami untuk menjawab isu-isu perempuan dan anak yang kompleks dan multisektoral,” kata Menteri PPPA.
Baca Juga:
Kemen PPPA Kawal Kasus Penyekapan Anak di Jakarta
Senada dengan Menteri PPPA, Direktur Eksekutif JalaStoria, Ninik Rahayu menyampaikan, media merupakan mitra strategis dalam melindungi korban kekerasan seksual.
Menurutnya, media memiliki peranan positif sebagai penyambung suara korban, sarana edukasi pada publik, serta memberikan kontribusi pada kebijakan.
Namun demikian, masih terdapat tantangan yang dihadapi dalam menciptakan pemberitaan isu kekerasan seksual yang berperspektif gender dan mengedepankan kepentingan terbaik bagi korban, terutama di era kemajuan teknologi, salah satunya adalah pemberitaan di media sosial yang kerap mengungkap identitas.
Menurut Ninik, hal ini menjadi kontaproduktif dengan upaya perlindungan korban.
“Kami memiliki 3 (tiga) catatan penting yang dapat direkomendasikan. Pertama, perkembangan jurnalis perempuan semakin banyak, tetapi penekanan pada perspektif gender justru berkurang. Kedua, sudah ada institusi pers yang menginisiasi wacana dan diskusi soal gender dan perlindungan korban, tetapi di lembaga yang lain belum ada sama sekali sehingga ada disparitas pengetahuan ini kepada para jurnalis ketika akan menuliskan dan menjadi produk redaksi,” jelasnya.
Dan ketiga, ada tantangan di industri media, misalnya perusahaan media belum memiliki kesamaan terhadap kepedulian pada penekanan pentingnya perlindungan korban dan responsif gender.
Sementara itu, Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Dewan Pers, Tri Agung Kristanto menyebutkan, pihaknya telah melakukan upaya-upaya peningkatan perspektif gender dan pengetahuan terkait hak-hak perempuan bagi wartawan/jurnalis/pewarta dalam penyusunan produk jurnalistik, salah satunya Peraturan Dewan Pers Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pers.
“Bagi saya, di lingkungan pers artinya bukan hanya di perusahaan atau organisasi pers, tapi juga menyangkut publik karena pers hidup dengan masyarakat. Pers adalah cermin dari masyarakat itu sendiri,” ujarnya.
Dewan Pers sendiri telah mengesahkan Peraturan Dewan Pers Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman. Di dalam peraturan ini juga telah disebutkan perspektif gender dan masyarakat rentan, dan salah satu bagian dari masyarakat rentan adalah perempuan.
[Redaktur: Zahara Sitio]