WAHANANEWS.CO - Presiden Sukarno atau Bung Karno pernah mengunjungi Balige pada 1948, dan kabar kedatangan itu disambut antusias oleh Siti Frida Naiborhu bersama adiknya, Mintaria, serta ratusan warga kampung, termasuk Frida yang datang sambil menggendong putra sulungnya yang masih bayi, Luhut Binsar Panjaitan.
Karena bayi tersebut terlihat berbeda dengan tubuh yang gendut, kulit putih, dan gerak yang sangat aktif, Bung Karno mendekat, mengusap kepala Luhut kecil, lalu berkata, “Suatu hari anak ini akan jadi orang besar.”
Baca Juga:
Luhut Pandjaitan dan Ephorus HKBP Victor Tinambunan Hopeng?
Kisah tersebut diungkap Nurmala Kartini Pandjaitan Sjahrir berdasarkan cerita yang ia dengar dari tantenya, Mintaria, dan ditulis dalam buku berjudul Luhut karya Noorca M Massardi yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas dan diluncurkan bertepatan dengan ulang tahun ke-75 Luhut pada Selasa (27/9/2022).
Dalam buku itu juga diceritakan bahwa semasa kecil Luhut pernah ditanduk seekor kerbau hingga terkapar, meski beruntung hanya mengalami luka gores di punggung.
Bagi Luhut sendiri, pertemuan dan elusan Bung Karno tersebut tidak pernah ia anggap memengaruhi jalan hidupnya, karena ia baru mendengar cerita itu setelah dilantik menjadi menteri oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Baca Juga:
Gegara Purbaya Polemik Hutang Kereta Cepat Mencuat Lagi, Sandiaga Uno Angkat Suara
“Saya sendiri baru mendengar cerita itu setelah dilantik menjadi menteri oleh Presiden Gus Dur,” ujar Luhut, yang dilantik sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada Kamis (24/8/2000) menggantikan Jusuf Kalla yang diberhentikan setelah enam bulan menjabat.
Luhut menilai ucapannya itu bukan tanpa alasan, karena perjalanan karier militernya berlangsung tertatih dengan jabatan yang tidak terlalu strategis dan dinilai tidak mencerminkan prestasi akademik serta kompetensi yang ia miliki.
Ia tercatat sebagai lulusan terbaik Akabri Angkatan 1970 dan meraih Adhi Makayasa yang disematkan langsung Presiden Soeharto, serta menjadi yang terbaik saat mengikuti pendidikan lanjutan di Kopassus dan berbagai pelatihan militer elite di Amerika Serikat.
Selain pendidikan militer, Luhut juga meraih gelar master dari George Washington University sebagai bagian dari pengembangan akademiknya.
Seusai Operasi Seroja di Timor Timur, Luhut memperoleh Bintang Satyalancana Seroja yang diserahkan langsung Menhankam/Pangab Jenderal M Jusuf di Markas Kopassus Cijantung, yang membuatnya kerap diajak dalam berbagai operasi dan perjalanan dinas sang jenderal.
Bintang tersebut pula yang kemudian mengantarkannya menjadi salah satu kepercayaan Jenderal LB Moerdani, penerus Jusuf, dengan berbagai tugas khusus yang dijalankan Luhut dengan baik.
Salah satu tugas pentingnya adalah terlibat dalam proses perampingan personel Kopassus dari 6.600 menjadi 3.000 orang serta pembentukan Detasemen Antiteror setelah mengikuti pendidikan GSG-9 di Jerman dan Royal Army SAS di Inggris pada 1981.
Meski demikian, semua capaian itu tidak membuat Luhut menempati jabatan puncak militer seperti Danjen Kopassus, Pangdam, KSAD, atau Panglima TNI, karena sepanjang kariernya ia hanya sekali menjabat komandan operasional.
“Itu pun kelas dua, hanya sebagai Komandan Korem 081 di Madiun,” ujar mantan Danjen Kopassus Letjen Sintong Panjaitan, yang menambahkan bahwa Luhut tetap terpilih sebagai Danrem terbaik di Indonesia pada 1995.
Pangkat bintang satu diraih Luhut saat menjabat Wakil Komandan Pussenif, kemudian menjadi Komandan Pussenif pada 1996–1997 dengan pangkat mayor jenderal, sebelum akhirnya meraih pangkat letnan jenderal saat menjabat Kodiklat TNI AD pada 1997–1998.
Ayahnya, Bonar Pandjaitan, sejatinya berharap Luhut menempuh pendidikan di kampus teknik ternama seperti ITB, namun anak laki-laki satu-satunya itu justru memilih masuk Akademi Militer di Magelang.
Bonar sendiri memiliki latar belakang beragam sebagai tentara, sopir bus, hingga pegawai Caltex, dan prestasinya di perusahaan tersebut mengantarkannya kuliah di Cornell University pada 1957 sebelum melanjutkan ke Columbia University.
“Bapak orang Indonesia pertama yang pernah kuliah di Universitas Cornell,” kata Luhut, mengenang ayahnya yang meninggal dunia pada 1982 saat ia masih berpangkat mayor.
Diduga karena kekecewaan atas pilihan Luhut masuk Akmil, Bonar tidak mendampingi saat kelulusan Adhi Makayasa, sehingga hanya sang ibu yang hadir menyaksikan momen tersebut.
Mengenai karier militernya yang dinilai tidak sepadan dengan prestasi, Luhut kerap menyebutnya sebagai misteri kehidupan.
“That’s mystery of life, kita tidak pernah tahu apa yang digariskan oleh alam untuk kita,” ujarnya.
Justru setelah pensiun dari militer, Luhut menemukan jalur karier baru ketika atas usul Sintong Panjaitan ia dilantik Presiden BJ Habibie menjadi Duta Besar RI untuk Singapura pada 1999–2000.
Dari Singapura, Luhut kemudian ditarik Presiden Gus Dur untuk menjabat Menteri Perindustrian, sebelum kariernya semakin menanjak di era Presiden Joko Widodo.
Di masa pemerintahan Jokowi, Luhut dipercaya mengemban sejumlah jabatan strategis mulai dari Kepala Staf Kepresidenan, Menko Polhukam, hingga Menko Maritim dan Investasi.
Banyaknya tugas yang diberikan Jokowi kepadanya memunculkan sinisme sebagian publik yang menjuluki Luhut sebagai “Menteri Segala Urusan” hingga “Super Menteri”.
Meski begitu, secara objektif hampir seluruh tugas yang dipercayakan kepadanya dinilai dapat dijalankan dengan baik.
“Kalau boleh jujur, selama karier saya di militer sampai beberapa kali menjadi pejabat publik meskipun tidak dalam waktu yang lama, baru di masa pemerintahan Presiden Jokowi saya mampu mengabdi kepada republik ini secara konkret,” tulis Luhut.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]