WahanaNews.co | Dekan dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara yang
juga pakar penerbangan, Prof Dr Ahmad Sudiro, mengatakan bahwa keluarga korban kecelakaan pesawat Sriwijaya Air
SJ-182 perlu didampingi pengacara yang berpengalaman dalam menangani
kasus penerbangan.
Sudiro, dalam
pernyataan tertulisnya, di Jakarta, seperti dikutip Minggu (24/1/2021),
mengatakan bahwa dalam peristiwa kecelakaan itu terdapat hak-hak ahli waris
korban yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh para pihak yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan tersebut.
Baca Juga:
Sriwijaya Air Beberkan Alasan 27 Ahli Waris Belum Dapat Ganti Rugi
Menurut dia, ganti kerugian atau
kompensasi sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan penerbangan atau pengangkut
terhadap ahli waris korban kecelakaan pesawat sesuai dengan Pasal 141 Undang
Undang Nomor 1/2009 tentang Penerbangan, dan Pasal 2 jo Pasal 3 Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor PM 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan
Udara, serta ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
"Namun, ganti kerugian atau
kompensasi dari pengangkut ini tidak mengurangi dan tidak melepaskan pihak-
pihak lain yang diduga turut bertanggung jawab juga untuk tetap dituntut ganti
kerugian atas terjadinya kecelakaan pesawat Sriwijaya SJ-182 jenis Boeing 737-500
tersebut," katanya.
Sudiro menambahkan bahwa sudah ada
aturan dari Menteri Perhubungan terkait kompensasi yang harus diberikan
keluarga penumpang pesawat yang mengalami kecelakaan.
Baca Juga:
KNKT Beberkan Misteri Sriwijaya Air Jatuh di Kepulauan Seribu
"Permenhub Nomor 77/2011 Bab VI
Pasal 23 berbunyi besaran ganti kerugian yang diatur dalam peraturan ini tidak
menutup kesempatan kepada penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak
ketiga untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau melalui abritrase atau alternatif penyelesaian
sengketa lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,"
katanya.
Dari kasus kecelakaan serupa, yakni
pesawat Lion Air JT-160 jenis Boeing 737-8 MAX yang jatuh di perairan laut Jawa
sekitar Kerawang setelah lepas landas dari Bandara
Soekarno-Hatta menuju Pangkal Pinang dan mengakibatkan 189 orang meninggal
dunia, 29 Oktober 2018, bisa diambil pembelajaran.
Sudiro menyebutkan, setidaknya ada empat persoalan yang harus dihadapi keluarga atau
ahli waris penumpang pesawat Lion Air JT-610 ketika
itu.
Pertama, keluarga tanpa pendampingan
ahli hukum atau pengacara secara sepihak diarahkan oleh pihak maskapai untuk
memberikan pelepasan dan pembebasan dari sanksi perdata maupun pidana kepada
pihak maskapai dan pabrikan pesawat untuk menerima santunan sebesar Rp 1.250.000.000,
ditambah Rp 50.000.000 ekstra santunan dari maskapai dan pabrikan pesawat
terbang.
Kedua, para keluarga yang oleh karena
terdesak kebutuhan maka menerima dana santunan Rp 1.300.000.000.
Ketiga, dengan menerima dan
menandatangani R&D (Release and
Discharge) atau terjemahan bebasnya adalah "Pelepasan dan
Pembebasan", pihak keluarga dan ahli waris tidak bisa menuntut baik pidana
maupun perdata kepada maskapai penerbangan dan pabrikan pesawat beserta sekitar
1.000 supplier dan subkontraktor dari pabrikan pesawat di Amerika Serikat.
Keempat, banyak keluarga yang
terlanjur menandatangani R&D mengalami kesedihan kedua kalinya karena tidak
bisa mendapatkan santunan dari pihak pabrikan pesawat di Amerika Serikat
menurut Undang-Undang Amerika Serikat.
"Fakta hukum para keluarga korban
yang tidak menandatangani R&D dapat dengan mudah mengajukan tuntutan kepada
perusahaan pabrikan pesawat di Amerika Serikat. Dalam pengajuan klaim di AS
berdasarkan perundang-undangan hukum yang berlaku disana, keluarga bisa
mendapatkan santunan dalam jumlah yang sangat layak. Tentu harus diwakili oleh
pengacara yang berasal dari AS," jelasnya.
Namun, lanjut dia, keluarga korban
yang terlanjur menandatangani R&D pun bisa menuntut ke pabrikan pesawat di
AS, tetapi mendapatkan santunan yang besarnya hanya sekitar 30 persen dibanding
mereka yang menolak menandatangani R&D.
Hal itu, kata dia, perlu menjadi
pertimbangan bagi para keluarga korban secara logis di tengah kedukaan yang
sangat dalam yang dialami saat ini.
"Karena itu, memilih pengacara
yang memiliki pengalaman dalam menangani kasus penerbangan seperti ini akan
sangat membantu perlindungan hak perdata bagi keluarga dan ahli waris korban
secara aman baik untuk kepentingan hukum di Indonesia maupun di AS,"
katanya.
Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak jatuh di dekat Pulau Laki, Kepulauan
Seribu, Sabtu (9/1/2021), mengakibatkan korban jiwa 50 penumpang dan 12 awak kabin
pesawat.
Kecelakaan pesawat Sriwijaya SJ-182
itu menjadi bencana penerbangan terbesar di tanah air sejak kecelakaan pesawat
Lion Air JT-160 jenis Boeing 737-8 MAX rute Jakarta - Pangkal
Pinang, yang jatuh di perairan laut Jawa sekitar Karawang yang
mengakibatkan 189 orang meninggal dunia pada 29 Oktober 2018. [qnt]