“Siapa yang mau tanggung jawab? Mestinya penyedia itu juga harus bertanggung jawab bahwa makanan ini aman. Jangan sampai mengorbankan orang lain, tapi yang mendapat keuntungan mereka,” ucap Irianto.
Ia menilai, pemberian imbalan sebesar Rp 100.000 per hari untuk guru yang bersedia menjadi tester tidak sepadan dengan risiko yang dihadapi.
Baca Juga:
Pembukaan Jalur Mandiri PTN Disorot Komisi X DPR
Selain itu, guru juga dibebani tugas tambahan seperti mengumpulkan wadah makanan (ompreng) yang telah digunakan untuk dikembalikan ke pihak penyedia.
“Belum lagi kalau jumlahnya kurang, maka sekolah suruh ganti,” imbuhnya dengan nada kecewa.
Penolakan ini muncul setelah adanya dugaan keracunan yang menimpa sejumlah siswa SMPN 8 dan SMAN 3 usai menyantap makanan dari program MBG. Menanggapi hal ini, Irianto menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap penyedia makanan agar kasus serupa tidak terulang.
Baca Juga:
Lemah Koordinasi, JPPI: Program MBG Bikin Guru Jadi Pihak yang Paling Dirugikan
“Kejadian ini harus diusut dengan tuntas karena jangan sampai pada saat SPPG ini melakukan yang sudah terbaik dan tidak disebabkan dari sana, misalnya ada orang iseng dan lain sebagainya. Itu kan kasihan nanti mereka sudah mengeluarkan uang,” kata Irianto.
Ia berharap pemerintah meninjau ulang seluruh mekanisme distribusi dan pengawasan MBG sebelum menunjuk guru sebagai pihak yang menanggung risiko di lapangan.
Diketahui, Badan Gizi Nasional (BGN) tengah mengatur agar guru dijadikan penanggung jawab program MBG di sekolah penerima manfaat.