Menurut Nadiem, dengan model tes seperti itu, guru-guru tidak lagi dibebani dengan banyaknya materi yang harus diajar, namun bisa mendalami sistem belajar yang lebih menyeluruh, fokus pada penalaran, dan bukan penghafalan.
Selama ini, dia mengatakan sistem tes sebelumnya memaksa siswa harus menghafal banyak materi dan berlatih mengerjakan soal-soal tes. Akibatnya, banyak yang merasa harus mengeluarkan uang untuk mengikuti bimbingan belajar demi lulus PTN.
Baca Juga:
Kemendikbudristek: Jalur Mandiri Tetap Ada Karena Amanat UU
Apa itu pembelajaran berbasis nalar?
Pengamat pendidikan, Itje Chodijah, mengatakan pendidikan berbasis nalar bertujuan membangun kecakapan bernalar, mengembangkan karakter, pola pikir yang kritis dan analitis.
Dengan demikian, para siswa memiliki kapasitas untuk memecahkan persoalan dan menghadapi tantangan yang ada di era saat ini.
Baca Juga:
Kemendikbudristek Apresiasi Tokoh & Tenaga Pemugar Candi Borobudur
Namun faktanya, Indonesia berada dalam daftar 10 negara dengan tingkat literasi terendah di dunia berdasarkan skor Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
Menurut Itje, itu menunjukkan bahwa proses pendidikan di Indonesia belum mengasah kemampuan berpikir kritis dan bernalar.
“Itu karena proses di dalam kelas didominasi materi ajar yang jumlahnya banyak, sehingga tidak ada kesempatan untuk memproses, sehingga yang diuji adalah apakah materi itu dikuasai saja, kemudian diuji dengan tes yang hanya berbasis materi,” jelas Itje.