Data CISDI mengungkapkan bahwa kota-kota besar seperti Surabaya (20,6%) dan Makassar (21,4%) mencatatkan tingkat peredaran rokok ilegal tertinggi.
Kedua kota itu dinilai memiliki kemudahan akses dari pelabuhan besar dan berada di dekat wilayah produksi tembakau, menjadikannya titik distribusi strategis.
Baca Juga:
Otonomi Daerah: Warisan Reformasi yang Terancam Pulang
"Sementara kota lain yang dekat wilayah produksi, tapi tidak jadi jalur distribusi utama, angkanya jauh lebih rendah. Jadi ini bukan soal harga atau bungkus, tapi soal distribusi dan kontrol suplai," ujar Ketua IYCTC, Manik Marganamahendra.
Ia juga menyebutkan bahwa lemahnya pengawasan terhadap pelaku usaha kecil dan mikro, serta tidak adanya pembatasan dalam kepemilikan mesin pelinting, turut menyumbang pada maraknya produksi ilegal.
Belum optimalnya sistem pelacakan distribusi membuat penanganan semakin sulit.
Baca Juga:
Sektor Hospitality Diizinkan Hidup Lewat Kegiatan Pemda
Survei CISDI juga mengungkap adanya produk ilegal yang telah meniru kemasan produk legal, termasuk mencantumkan peringatan kesehatan, menandakan skala produksi yang sudah besar dan rantai suplai yang tidak terkendali.
Kebijakan standarisasi kemasan yang digagas Kementerian Kesehatan bertujuan mengurangi daya tarik rokok, khususnya pada kelompok anak dan remaja.
Desain polos, penghilangan elemen visual merek, serta peringatan kesehatan mencolok menjadi pendekatannya.