WAHANANEWS.CO, Jakarta - Isu tambang nikel di Pulau Gag kembali menjadi sorotan publik setelah dua menteri Kabinet Prabowo–Gibran buka suara.
Polemik antara aspek hukum, keberlanjutan lingkungan, dan suara masyarakat lokal membuat persoalan ini menjadi lebih kompleks dari sekadar perizinan tambang.
Baca Juga:
Izin Galian C Gunung Kuda yang Menewaskan 14 Pekerja Dicabut Dedi Mulyadi
Pemerintah menegaskan aktivitas tambang diperbolehkan, namun sejumlah pihak mempertanyakan dampaknya terhadap ekosistem Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu kawasan laut paling kaya di dunia.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia telah mengonfirmasi bahwa penambangan nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, diperbolehkan dan sah secara hukum.
Tambang tersebut dioperasikan oleh PT Gag Nikel (PT GN), anak usaha dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam), perusahaan BUMN.
Baca Juga:
Tiga Anjing Pelacak Dikerahkan Bantu Temukan Korban Longsor di Tambang Gunung Kuda
"Semua perizinan yang diperlukan sudah dipenuhi, mulai dari izin usaha pertambangan, persetujuan lingkungan, hingga izin pinjam pakai kawasan hutan," ujar Hanif dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (8/6/2025).
Pulau Gag sendiri memiliki luas sekitar 6.300 kilometer persegi dan tergolong sebagai pulau kecil. Menurut UU Nomor 27 Tahun 2007 yang direvisi dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, seharusnya pulau kecil dikecualikan dari aktivitas pertambangan.
Namun, PT GN termasuk dalam 13 perusahaan yang dikecualikan berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2004, yang mengizinkan kontrak karya di hutan lindung.
"Yang beroperasi sekarang itu hanya satu, yaitu PT Gag Nikel. Ini milik Antam, BUMN," jelas Bahlil Lahadalia.
Bahlil juga menegaskan bahwa tambang nikel di Pulau Gag awalnya dikelola oleh pihak asing sejak 1997–1998. Namun setelah kontrak dihentikan, pemerintah mengambil alih dan menyerahkannya kepada Antam. Kontrak karya saat ini diterbitkan pada 2017, dan aktivitas tambang dimulai sejak 2018.
Menteri Bahlil melakukan kunjungan ke lokasi tambang pada Sabtu (7/6/2025) dan menyatakan bahwa belum ditemukan persoalan berarti.
Namun, evaluasi akhir tetap menunggu hasil penilaian menyeluruh dari Kementerian ESDM.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Tri Winarno, menyebutkan bahwa dari total 263 hektar lahan tambang, 131 hektar sudah direklamasi dan 59 hektar dinilai berhasil reklamasi.
"Secara total bukaan lahannya juga enggak terlalu besar-besar amat," ungkapnya.
Kendati demikian, Tri menegaskan evaluasi masih berlangsung dan keputusan final ada di tangan Menteri ESDM.
Terkait isu pencemaran, Hanif mengakui ada dampak, tetapi disebutnya sangat kecil dan belum terlihat mengkhawatirkan.
"Memang ada sedimentasi yang menutupi karang di perairan sekitar, tapi sejauh ini dampaknya belum signifikan," katanya.
Di sisi lain, Gubernur Papua Barat Raya Elisa Kambu membantah adanya kerusakan lingkungan. "Air laut di sana biru, bukan keruh. Pemberitaan itu hoaks," tegasnya.
Ia juga menyebut masyarakat setempat mendukung keberlanjutan tambang.
"Mereka menangis minta Pak Menteri ini tidak boleh ditutup," kata Elisa.
Bupati Raja Ampat, Orideko Iriano Burdam, juga menyuarakan hal senada. Ia meminta agar pengawasan tetap diperketat.
"Saya harap juga pengawasan Anda harus buat terus supaya jangan sampai terjadi yang kita tidak inginkan," ujarnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]