Asrinaldi menganggap kebijakan yang baru dikeluarkan lalu langsung dicabut bukan hasil kajian yang mendalam.
Dia juga menilai kebijakan semacam itu seperti trial and error. Ketika ada kritikan masif dari masyarakat, kebijakan tertentu kemudian dicabut. Dengan kata lain, tidak bersumber dari kajian yang matang.
Baca Juga:
Aturan Terbaru: Pencairan JHT Tak Perlu Tunggu hingga 56 Tahun
"Kecenderungan kebijakan ini lebih kepada, kalau bahasa kita itu, lebih kepada trial and error. Kalau ada reaksi yang negatif kemudian bergejolak dengan masyarakat, kemudian diubah kembali," kata dia.
Senada, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut masalah inkonsistensi kebijakan ini bukan kali pertama terjadi di era Jokowi.
Sejak dulu, kata dia, banyak kebijakan yang juga mengalami perubahan setelah mendapat tekanan publik, seperti misalnya aturan vaksinasi berbayar yang menjadi gratis, biaya PCR, hingga Minuman Beralkohol (Minol).
Baca Juga:
Menaker: Pembayaran JHT Paling Lama 5 Hari
Trubus menyebutnya sebagai upaya cek ombak atau testing the water. Ketika ada kebijakan yang dikeluarkan berujung gelombang penolakan, maka akan langsung direvisi atau dicabut.
"Kalau kemudian masyarakatnya diam saja, [maka] mereka menggunakan buying time, ya ditetapkan jadi kebijakan," kata Trubus, kemarin.
"Itu semua menunjukkan bahwa pemerintah dalam membuat kebijakan itu perencanaannya relatif buruk. Karena tidak melalui perencanaan yang matang," sambungnya.