Dalam konteks hukum, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan wadah kekuasaan dan pengetahuan. Filsuf Michel Foucault (1977) menyebut bahwa kebenaran diproduksi melalui struktur wacana yang diatur oleh otoritas. Dalam pengadilan, struktur itu termanifestasi melalui bahasa hukum yang ketat, dengan bahwa sebagai salah satu simbol tertingginya. Hanya hakim yang berwenang mengucapkannya, dan sekali ia menulis kata itu, dunia sosial berubah status, perbuatan, peristiwa, dan keadaan menjadi fakta, fakta menjadi dasar, dan dasar menjadi keputusan yang mengikat.
Tetapi kekuasaan bahasa semacam ini membawa tanggung jawab moral. Bahasa hukum yang terlalu teknokratis sering kali membuat masyarakat merasa terasing dari proses keadilan. Padahal, sebagaimana diingatkan Ronald Dworkin dalam Law’s Empire (1986), hukum bukan sekadar sistem aturan, tetapi juga praktik interpretasi moral. Artinya, setiap bahwa seharusnya mengandung kesadaran etis: bahwa di balik logika hukum terdapat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.
Baca Juga:
Abdul Muis Guru di Luwu Utara Diberhentikan dari PNS, Delapan Bulan Jelang Pensiun
Dalam reformasi peradilan, kita sering menekankan aspek administratif, e-court, one day publish, dan digitalisasi. Semua itu penting, tetapi legitimasi peradilan tidak akan kokoh tanpa bahasa hukum yang menjelaskan keadilan dengan jernih. Sebab keadilan bukan hanya diputuskan, tetapi juga harus dituturkan. Putusan yang baik bukan hanya benar secara hukum, tetapi juga dapat dimengerti secara moral oleh masyarakat.
Hakim dapat memulainya dari hal kecil, menulis pertimbangan hukum dengan lebih komunikatif, tanpa kehilangan presisi. Misalnya, kalimat “Menimbang bahwa perbuatan terdakwa tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga melukai kepercayaan masyarakat” memperlihatkan bahwa hakim memahami dimensi moral di balik norma hukum. Bahasa yang demikian tidak mengurangi objektivitas, sebaliknya, menjadikan hukum terasa lebih manusiawi.
Bahasa hukum yang baik bukan yang rumit, melainkan yang mampu menjernihkan logika tanpa kehilangan rasa. Pendekatan ini penting karena setiap bahwa sejatinya adalah bentuk pertanggungjawaban intelektual hakim. Menulis kata itu berarti menyatakan keyakinan yang lahir dari proses menimbang bukti dan nurani. Di sinilah letak keindahan tersembunyi dari bahasa hukum, kekakuannya menyembunyikan kedalaman tanggung jawab moral. Ketika seorang hakim sadar makna kata itu, hakim tersebut tidak hanya menulis putusan, tetapi juga menulis sejarah kecil tentang bagaimana kebenaran ditegakkan melalui bahasa.
Baca Juga:
Kaidah Hukum – Klausul Baku Tak Selalu Mengikat: Pelajaran dari Putusan Mahkamah Agung
Kesimpulan: Keadilan yang Dituturkan
Kita mungkin menganggap kata bahwa hanya bagian dari rutinitas administrasi putusan, padahal di dalamnya tersimpan inti dari kekuasaan hukum itu sendiri, kemampuan untuk menjadikan kata sebagai hukum. Dari sinilah kita belajar bahwa hukum tidak hidup di ruang sunyi pasal-pasal, melainkan di dalam kalimat yang diucapkan dengan tanggung jawab.
Teknologi dan inovasi peradilan bisa mempercepat proses, tetapi keadilan tetap bergantung pada ketepatan bahasa. Setiap bahwa adalah jembatan kecil antara logika dan nurani, antara teks dan rasa, antara kekuasaan dan kemanusiaan. Kata itu kecil, tetapi ia menata dunia hukum yang besar dan di balik setiap bahwa tersimpan janji diam-diam bahwa hukum masih berbicara dalam bahasa manusia.