WAHANANEWS.CO, Jakarta - Dalam setiap putusan pengadilan, ada satu kata yang terus berulang tanpa banyak disadari pentingnya: “bahwa.” Ia tampak sederhana, hanya kata penghubung dalam tata bahasa Indonesia, tetapi sesungguhnya merupakan fondasi yang menopang cara berpikir hukum kita.
Melalui kata ini, hakim tidak sekadar menulis kalimat, melainkan menegakkan otoritas. Di titik itulah bahwa berubah dari unsur bahasa menjadi simbol legitimasi kebenaran yuridis yang diakui negara.
Baca Juga:
Abdul Muis Guru di Luwu Utara Diberhentikan dari PNS, Delapan Bulan Jelang Pensiun
Dalam tata bahasa Indonesia, bahwa dikenal sebagai konjungsi subordinatif komplementasi, yaitu kata penghubung yang menerangkan bahwa suatu klausa atau kalimat merupakan pelengkap dari klausa atau kalimat sebelumnya (Alwi dkk., 2003).
Contoh sederhananya seperti, “Guru menjelaskan bahwa ujian akan diadakan besok.” Dalam konteks itu, fungsinya murni sintaktis. Namun, di tangan seorang hakim, bahwa melampaui fungsi gramatikalnya. Kata bahwa menjadi alat pengesahan, setiap kali hakim menulis “Menimbang bahwa…”, hakim tersebut tidak sekadar menyusun kalimat, melainkan mengesahkan realitas sosial menjadi realitas hukum.
Setiap bahwa dalam putusan berfungsi seperti meterai, begitu ditulis, fakta yang sebelumnya sekadar pernyataan berubah menjadi kebenaran hukum. Dalam kerangka teori tindakan tutur (speech act theory), J. L. Austin (1962) menyebut fenomena semacam ini sebagai performative utterance, ucapan yang bukan hanya menyampaikan makna, tetapi sekaligus melakukan tindakan. Maka, kata kecil ini sebenarnya adalah tindakan hukum dalam bentuk linguistik, yang menyatakan, menetapkan, dan mengikat.
Baca Juga:
Kaidah Hukum – Klausul Baku Tak Selalu Mengikat: Pelajaran dari Putusan Mahkamah Agung
“Bahwa” bukan sekadar kata penghubung, ia adalah gerbang antara fakta sosial dan kepastian hukum.
Perbedaan antara bahwa dalam kalimat biasa dan dalam putusan terletak pada daya kekuasaannya. Dalam kalimat umum, ia hanya menghubungkan ide. Dalam kalimat hukum, kata bahwa mengikat konsekuensi hukum. Sebelum kata itu, hakim menimbang dan menilai, sesudahnya, hakim menyatakan dan menetapkan. Inilah momen perubahan dari sein (apa yang ada) menuju sollen (apa yang seharusnya). Dengan satu kata, hakim menjembatani jurang antara realitas dan norma.
Bahasa sebagai Cermin Keadilan