Tantangan berikutnya tentu saja adalah globalisasi dengan hadirnya bahasa-bahasa internasional yang lebih bernilai secara ekonomis dan lebih memberikan akses kepada pengetahuan, seperti bahasa Inggris.
Ini yang semakin menggerus bahasa etnik dan mempercepat kepunahannya, antara lain karena sudah tidak dipakai lagi oleh penutur dan anak-anaknya yang lebih tertarik pada bahasa nasional dan internasional.
Baca Juga:
Mabes Polri Gelar Upacara Sumpah Pemuda, Indeks Pembangunan Pemuda Harus Ditingkatkan
Kegelisahan tentang posisi bahasa daerah di tengah arus global ini diungkapkan dengan menyedihkan oleh Yohanes Manhitu yang dikutip dalam buku di atas, ”pamor bahasa daerah sudah kalah (jauh) dibandingkan dengan bahasa nasional kita, apalagi dengan bahasa Inggris --yang dijuluki bahasa Internasional-- … mengapa masih ada sejumlah orang yang terus mengurusi bahasa daerah walaupun usaha mereka itu boleh dikatakan ibarat mengutak-atik gerbong tua yang diharapkan berjalan di atas rel baru?
Orang boleh saja mencibir bahasa daerah yang dianggap tidak mendatangkan aliran tunai ke kantong atau rekeningnya.
Namun, dari sudut pandang budaya, orang yang (masih) mencintai budaya bangsanya akan menangis dalam hati memikirkan nasib bahasa-bahasa daerah yang pada umumnya tak kunjung mengalami perbaikan dan kemajuan, malah makin tersudut dalam percaturan kebahasaan di dusun global ini” (hlm 14).
Baca Juga:
Peringati Hari Sumpah Pemuda Ke-96, Danrem 182/JO Bacakan Amanat Menpora
Berbagai tantangan globalisasi terkait bahasa dan budaya ini adalah bahasan buku kedua yang juga diluncurkan dalam Bulan Bahasa ini, yaitu Globalisasi dan Transformasi Sosial Budaya: Pengalaman Indonesia.
Dua buku di atas ditulis oleh para profesor di LIPI atau BRIN yang sebagian di antaranya telah wafat di tengah pandemi Covid-19 ini, seperti Muhammad Hisyam, John Haba, dan Abdul Rachman Patji. (Ahmad Najib Burhani, Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional - BRIN)-dhn