Keadaan ini tentunya menyisakan tanya, ”Apakah ada yang salah dalam demokrasi dan pembangunan di Indonesia?”
Menurut saya, demokrasi telah gagal menangkap aspirasi masyarakat sehingga tidak terjadi pembangunan yang bersifat bottom up.
Baca Juga:
Pemdes Anggoli Gelar Musdes Pra Pelaksanaan Kegiatan Dana Desa 2025
Demokrasi hanya bergerak di tataran elite sehingga program pembangunan yang ada hanya bersifat top down, utamanya di perkotaan.
Kegagalan demokrasi ini menciptakan masyarakat yang anarkistis secara sosial dan lingkungan, masyarakat yang mengokupasi bantaran sungai secara ilegal untuk membuat rumah dan berkomunitas bersama pelanggar lainnya.
Akibatnya, pembangunan ruang kota juga menjadi timpang (spatial inequality), pertumbuhan permukiman liar yang tidak terkendali juga membebani layanan publik, penempatan layanan publik secara ruang yang tidak merata sesuai dengan kebutuhan pengguna menciptakan ketidakadilan ruang (spatial injustice).
Baca Juga:
Menteri PU Tegaskan Komitmen Serius Turunkan ICOR Lewat Strategi PU608
Menariknya, hal ini terjadi justru pada wilayah pusat kota, pelayanan terbaik justru berada pada wilayah antara pusat kota dan pinggiran kota.
Demokrasi di tataran akar rumput gagal karena terputusnya rantai aspirasi masyarakat melalui struktur kelembagaan kota; RT, RW, lurah, camat, wali kota, gubernur, presiden tidak saling terhubung dalam rantai aspirasi.
Pernah ada usaha memotong jalur aspirasi ini melalui aplikasi.