Oleh MUHAMMAD KAMARULLAH
Baca Juga:
3 Terduga Teroris Ditangkap, Polisi: Barbuk yang Diamankan Senapan PCP dan 105 Butir Amunisi
DALAM waktu belakangan ini, geliat penangkapan tersangka terorisme gencar dilakukan oleh Densus 88.
Pasca penangkapan terduga terorisme di Lampung, kini sedang dalam upaya pendalaman beberapa orang yang merupakan anggota fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang terduga terlibat dalam jaringan teroris Jamaah Islamiyyah (JI).
Baca Juga:
Densus 88 Ringkus Lima Terduga Teroris di Tiga Tempat
Sementara pada September lalu, pentolan kelompok terorisme Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Ali Kalora akhirnya tewas dalam peristiwa baku tembak dengan aparat di wilayah Desa Astina, Sulawesi Tengah.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sepanjang Agustus, Densus 88 Antiteror Polri menangkap 55 tersangka teroris di 11 provinsi.
Sementara sebelumnya pada Januari hingga Mei, sebanyak 217 tertangkap terduga teroris yang bergabung dalam dua kelompok, yakni JI dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Bahkan temuan BNPT, terdapat kenaikan 101 persen transaksi keuangan mencurigakan (crowd- funding) melalui internet untuk mendukung aksi terorisme.
Temuan BNPT tersebut sekaligus mengonfirmasi beberapa peristiwa teror di sejumlah wilayah.
Di antaranya di Gereja Katedral Makassar pada Maret, serta di Mabes Polri Jakarta Selatan, April lalu.
Tentu kita mengapresiasi kinerja aparat yang berhasil menangkap dan menumpas beberapa jaringan terorisme di Tanah Air.
Namun meski jaringan terorisme telah ditumpas berulang kali, watak licik mereka dalam melakukan propaganda, menyebarluaskan, serta memperkuat jejaring tidak akan pernah berhenti sampai di sini.
Itu sebabnya keberhasilan penangkapan dan penumpasan beberapa kelompok teroris ini jangan sampai hanya menjadi extravaganza.
Perlu Upaya Komprehensif
Kelompok teroris merupakan ancaman terbesar bangsa ini bukan hanya soal keamanan nasional.
Tetapi ancamannya juga merambah pada sisi kebangsaan yakni Pancasila dan sistem ketatanegaraan kita.
Sebab pemahaman, visi serta gerakan politik mereka yang tidak sesuai dengan perkembangan konsepsi negara modern sekarang.
Maka, dalam upaya melawan terorisme cara-cara yang sarat kekerasan "boleh" saja digunakan.
Namun perlu juga menggunakan pendekatan yang soft dan lebih terukur.
Jika dicermati, sejauh ini upaya pemerintah telah dilakukan namun belum terlalu maksimal.
Misalnya program deradikalisasi.
Pemerintah memberikan edukasi kepada masyarakat dalam menangkal perkembangan ideologi ekstremisme.
Baik melalui institusi-institusi pendidikan maupun sosialisasi yang masif.
Upaya lain yaitu lewat Patroli Siber dalam memantau dan membasmi gerakan terorisme di dunia maya.
Namun demikian jejaring terorisme masih saja ada.
Berkaitan dengan jejaring terorisme ini, kita juga perlu berhati-hati terhadap pengaruh dari luar negeri.
Salah satunya yaitu kemenangan kelompok ekstremisme Taliban menguasai Afghanistan.
Yang barang tentu akan menginspirasi kelompok jihadis Indonesia berbasis agama.
Pasalnya, beberapa kelompok jihadis di Indonesia ini jelas memiliki relasi, kedekatan ideologi serta visi misi yang sama yakni cita-cita untuk mendirikan negara Islam.
Oleh sebab itu, aparat penegak hukum baik TNI maupun Polri harus maksimal dalam mendeteksi atau bahkan mengambil langkah antisipasi.
Terorisme sebagaimana menurut Cindy Combs merupakan sebuah tindakan kekerasan yang mengancam keberlangsungan sebuah negara dan para penduduk sipil.
Maka perlu tindakan kongkret untuk melawannya.
Dalam hal ini, menurut hemat saya counter terrorism diperlukan untuk menghalangi dan mengurangi konsekuensi serangan teroris.
Untuk mencegah perluasan jejaring terorisme, perlu adanya formulasi yang sekiranya ideal.
Dalam Collective versus Unilateral Responses to Terrorism (2005), Todd Sandler merekomendasikan kebijakan counter terrorism atau kontra terorisme.
Meliputi peningkatan teknologi pencegahan, penguatan target atau upaya memperkuat masyarakat agar tidak menjadi bagian dari teroris.
Selain itu perlu adanya peningkatan personel keamanan, dan memperkuat lembaga-lembaga terkait penanganan atau pencegahan.
Tak kalah penting, pemerintah patut meninjau hukum terkait sanksi terhadap teroris yang lebih berat dan memberikan efek jera.
Sementara pada aspek lain yang perlu mendapat perhatian oleh seluruh elemen pemerintahan.
BNPT sejak Juli 2021 telah membunyikan alarm tanda bahaya terkait tantangan munculnya aktivitas kelompok teroris selama masa pandemi Covid-19.
Dalam situasi yang mengharuskan pembatasan kegiatan secara fisik.
Mereka bergerilya memanfaatkan internet atau media daring dalam memasifkan transmisi doktrin ideologi yang mereka yakini, serta proses rekrutmen anggota semaksimal mungkin.
Sebagaimana telah kita ketahui, persoalan terorisme bukan hanya semata-mata karena pemahaman agama yang sempit.
Banyak kesaksian para mantan kombatan yang terjebak janji lapangan pekerjaan oleh kelompok terorisme.
Artinya faktor ekonomi atau kemiskinan pun menjadi variabel seorang bergabung dengan kelompok teroris.
Dan agaknya mengkhawatirkan, melihat tingkat kemiskinan di Indonesia yang kurang lebih mencapai 20 juta orang atau lima juta keluarga.
Bisa dibayangkan, apabila persoalan kemiskinan ini tidak ditangani dengan serius akan banyak orang yang mudah terpapar radikalisme.
Apalagi berkelindan dengan situasi pandemi Covid-19 yang menghantam perekonomian Indonesia dan dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat.
Jangan sampai dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk melakukan penambahan anggota (rekrutmen).
Dalam situasi serba kekurangan ini, bukan tidak mungkin, kelompok keluarga "miskin" rentan terdoktrin janji manis para teroris.
Sikap keputusasaan masyarakat akan rentan terjadi.
Jika kebutuhan ekonomi masyarakat tersendat.
Kemudian dipengaruhi dengan seruan jihad versi mereka atas nama surga.
Maka tidak menutup kemungkinan, ajakan untuk bergabung akan dituruti.
Dengan demikian, peran pemerintah dalam memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat di masa pandemi Covid-19 sangatlah penting.
Distribusi kebutuhan pokok secara merata kepada masyarakat khususnya masyarakat ekonomi kelas menegah ke bawah harus dilakukan.
Tentunya kita berharap, upaya pencegahan dan penumpasan terorisme tidak boleh berhenti sampai di sini.
Sebab tidak ada menang dan kalah dalam pertempuran melawan terorisme.
Cukup sudah, berbagai aksi-aksi teror di Tanah Air jangan sampai terulang kembali. (Muhammad Kamarullah, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang)-dhn
Artikel ini telah tayang di DetikNews dengan judul “Jangan Berhenti Melawan Terorisme”. Klik untuk baca: https://news.detik.com/kolom/d-5817957/jangan-berhenti-melawan-terorisme.