GENERASI muda yang unggul, kompetitif, dan berkarakter merupakan aset tak ternilai bagi kemajuan bangsa di masa depan. Guna mewujudkan visi tersebut, dibutuhkan investasi yang signifikan di bidang pendidikan.
Salah satu sumber pendanaan krusial untuk pendidikan adalah pajak, yang memainkan peran penting dalam mendanai berbagai program pendidikan strategis.
Baca Juga:
Soal Kenaikan PPN Jadi 12%, Ditolak Tim Prabowo
Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kepatuhan pajak, semakin besar pula potensi dana yang tersedia untuk menciptakan generasi cerdas melalui pendidikan berkualitas. Kepatuhan pajak tidak hanya memenuhi kewajiban, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan masa depan bangsa.
Tingkat kepatuhan dan Pemahaman
Data terkini menunjukkan, tingkat kepatuhan pelaporan pajak pada tahun 2023 menyentuh angka 88%, dengan jumlah SPT yang dilaporkan mencapai sekitar 17,1 juta dari total 19,4 juta wajib pajak yang diharapkan untuk menyampaikan SPT. Hal ini terungkap dalam Konferensi Pers 2023 Kinerja dan realisasi APBN 2024.
Baca Juga:
Dari Pajak Digital, Negara Kantongi Rp 6,14 Triliun Hingga September 2024
Dalam lima tahun terakhir, tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT dan membayar pajak terus mengalami peningkatan. Ini adalah kabar baik bagi pendapatan negara, lantaran jadi fondasi penting dalam mencapai target konsolidasi fiskal yang ditetapkan.
Namun, ironisnya, pemahaman wajib pajak mengenai penggunaan dana pajak yang mereka setorkan masih rendah. Survei Indikator Politik pada akhir 2022 mengungkapkan fakta bahwa mayoritas responden belum memahami pajak dan manfaatnya.
Sebanyak 49,8% responden merasa kurang atau tidak paham mengenai pajak, sedangkan 51,6% tidak memahami manfaat dari pajak tersebut.
Padahal, pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan sebesar Rp660,8 triliun, yang mencakup 20% dari APBN 2024. Ini adalah langkah besar dibandingkan tahun lalu.
Alokasi Anggaran untuk Pendidikan
Pemasukan dari pajak digunakan untuk memenuhi berbagai target strategis sektor pendidikan, seperti pembangunan dan pengelolaan infrastruktur pendidikan, pembayaran gaji guru dan pendidik, pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi, serta peningkatan akses pendidikan untuk masyarakat kurang mampu.
Perlu dicatat bahwa perhatian terhadap penyandang disabilitas juga menjadi prioritas, sesuai dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Tahun 2024 ini, pajak juga mendanai program-program prioritas pendidikan seperti Program Indonesia Pintar (PIP), yang dialokasikan sebesar Rp13,4 triliun untuk 18.594.627 siswa, serta Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, yang mencakup program beasiswa afirmasi/bidikmisi dengan anggaran sebesar Rp13,9 triliun untuk 985.577 siswa.
Kabar baiknya, anggaran pendidikan bakal bertambah lagi di tahun 2025, sebagaimana tercantum dalam RAPBN Tahun 2025. Di dalamnya mencakup juga target perluasan program beasiswa, pemajuan kebudayaan, penguatan perguruan tinggi kelas dunia, serta pengembangan riset dan inovasi.
Mengutip ksp.go.id, pemerintah telah menaikkan anggaran beasiswa dan bantuan sosial (bansos) untuk pendidikan menjadi Rp35,94 triliun pada 2024 dari Rp28,9 triliun pada 2023.
Dengan begitu, kenaikan tersebut lebih dari lima kali lipat dari anggaran beasiswa sepuluh tahun yang lalu.
Sementara bagi peserta didik, beasiswa disalurkan melalui Program Indonesia Pintar (PIP), Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) dan Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik), termasuk bagi peserta didik di wilayah 3T, disabilitas, dan pekerja migran.
Bagaimana dengan Negara Lain?
Dalam upaya memperbaiki sistem pendidikan nasional, mempelajari pengalaman negara lain bisa memberikan wawasan berharga. Negara-negara Nordik, seperti Denmark, Swedia, Norwegia, Finlandia, dan Islandia, sudah lama menjadikan pajak sebagai sumber biaya pendidikan gratis hingga perguruan tinggi.
Pajak yang tinggi, yakni 65-70% dari penghasilan pekerja, memungkinkan negara-negara ini membangun sistem pendidikan yang mumpuni.
Meski begitu, Masyarakat Nordik dengan senang hati membayar pajak tinggi karena meyakini bahwa pajak bukanlah beban, melainkan kontribusi untuk mendanai layanan publik yang memuaskan.
Sebaliknya, sejumlah negara di Afrika, seperti Nigeria misalnya, menghadapi kendala serius, yang menunjukkan bagaimana kurangnya investasi dalam pendidikan dapat memicu ketidakmerataan akses dan kualitas pendidikan.
Mengacu pada Copenhagen Consensus, Nigeria berada di peringkat 152 dari 187 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia PBB, jauh di bawah Kenya, Ghana, Botswana, dan Rwanda. Hanya 77% siswa merampungkan pendidikan dasar, dan ada sekitar 7 juta anak usia sekolah dasar yang putus sekolah.
Di samping itu, hampir setengah dari penduduk berusia di atas 15 tahun buta huruf.
Penelitian Alabede dalam tulisan ilmiahnya “Tax Compliance in Nigeria: An Empirical Analysis” menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pajak badan usaha di Nigeria hanya sekitar 25,9% per tahun. Sementara itu, berdasarkan studi Syahril berjudul “Tax Compliance in Nigeria: A Study of Small and Medium-Sized Enterprises”, tingkat kepatuhan pajak orang pribadi mencapai 32,8%.
Dalam konteks ini, pelajaran dari Nigeria menjadi sangat relevan bagi kita di Indonesia. Pendidikan berkualitas adalah fondasi utama untuk membentuk generasi muda yang cerdas dan berdaya saing, yang akan menjadi pilar dalam mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045.
Visi ini menggarisbawahi betapa pentingnya menciptakan masa depan yang cemerlang bagi bangsa kita, sehingga kepatuhan membayar pajak untuk pendidikan menjadi langkah esensial dalam meraih cita-cita tersebut.
Dengan taat pajak, kita secara langsung berkontribusi untuk negeri sendiri. Lebih dari itu, taat pajak juga menjadi bukti integritas dan kejujuran kita dalam menunjukkan komitmen sebagai warga negara. (*)