Oleh BONI HARGENS
Baca Juga:
Anggota DPD RI Komeng, Sebut Prabowo Betul-betul Ingin Menyatukan Semua Pihak
RUANG publik harus terbuka bagi beragam diskursus, kritik, dan pandangan, sembari mengedepankan akal sehat, data valid, dan motif moral supaya kritik tidak menjelma menjadi penaklukan sosial berbasis kebencian.
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo (GN) tak lelah bernyanyi soal kebangkitan komunis di Indonesia kekinian.
Baca Juga:
Survei: Mayoritas Konsumen Indonesia Pilih Merek Berdasarkan Sikap Politik
Terkait patung diorama yang tak lagi disimpan di Museum Darma Bhakti Kostrad, GN menuding antek Partai Komunis Indonesia (PKI) menyusup ke dalam tubuh militer.
”… Sudah ada penyusupan di dalam tubuh TNI”, ungkap GN.
Merespons itu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dengan lugas menyahut: ”Saya tidak mau berpolemik terkait hal yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah”.
Tuduhan itu pun dianggap sebagai ”tudingan yang keji” oleh Pangkostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman.
Dalam wawancara media, pernah saya katakan mereka yang menjual isu PKI hanya mencari panggung politik menuju kontestasi Pemilu 2024.
Sekarang, saya sadar, pandangan itu kurang lengkap.
Ini bukan soal pribadi GN yang mungkin tengah menari di pasar demi mencari pendukung --apalagi tak punya lapak sendiri (partai).
Akan tetapi, bermain dengan narasi panas seperti isu PKI, sesungguhnya melampaui urusan pemilu.
Mereka yang diam-diam menolak Pancasila atau merindukan berdirinya negara atas dasar Kitab Suci, termasuk yang ingin menghidupkan kembali rezim otoriter Orde Baru, melihat wacana ini sebagai bentuk dukungan implisit.
Tahun 2020, berdasarkan survei Saiful Mujani Research and Consulting, 14 persen masyarakat percaya adanya kebangkitan kembali PKI dan 22 persen sebaliknya.
Namun, dari segmen yang percaya, rata-rata 79 persen menganggap kebangkitan PKI sebagai ancaman.
Sumbu persoalannya bukan pada jumlah, tetapi pada kualitas persoalan yang terus berkembang dengan adanya propaganda revivalisme PKI oleh oposisi jalanan.
Teori dasar dalam psikologi sosial menyatakan bahwa ketidakbenaran yang disuarakan secara berulang-ulang akan diterima sebagai ”kebenaran baru”.
Politikus tentu melihat teori ini sebagai peluang untuk bersandiwara.
Namun, seorang negarawan tak akan bertoleransi dengan sandiwara yang mengancam keutuhan dan masa depan bangsa dan negara.
Pada zaman pragmatis ini, mencari negarawan ibarat mencari jarum di tengah jerami.
Politikus boleh berseliweran bak cendawan di musim hujan, tetapi berapa negarawan di antara mereka?
Untuk itu, sejumlah hal ini perlu terus didiskusikan: (a) makna dasar politik, (b) posisi kritik dan ruang publik dalam demokrasi, termasuk (c) posisi negara vis-À-vis masyarakat.
Politik sebagai Prinsip dan Tindakan
Politik mengandung valensi ganda yang seniscayanya mengikat tiap pelakunya: prinsip dan tindakan.
Sebagai prinsip, makna dasar politik jatuh dalam dua kategori: ontologis dan teleologis.
Secara ontologis, denotasi politik melekat dengan etimologinya dalam tradisi Yunani (polis: negara kota; politeis: warga negara; politika: segala sesuatu yang berhubungan dengan warga negara).
Bahwa, politik adalah segala sesuatu yang berurusan dengan warga negara.
Warga negara merupakan subyek dan sentrum dari keseluruhan makna ontologis dari ”politik”.
Selanjutnya, makna teleologis dari politik selalu berkaitan dengan tujuan ”menciptakan kebaikan umum” yang dikenal dengan istilah bonum commune.
Kaum Aristotelian bahkan dengan tegas membatasi politik sebagai kegiatan warga negara yang ditujukan pada pewujudan kemaslahatan bersama.
Implikasinya, moral dan politik, secara prinsipal, tak bisa dipisahkan.
Demokrasi Pancasila yang kita anut sesungguhnya abstraksi dari prinsip moral dan praksis politik yang ideal itu.
Sebagai prinsip moral, politik mengandung dalil etis yang kuat tentang kebaikan umum sebagai tujuan teleologisnya.
Sebagai sistem tindakan, politik mengacu pada fungsi, peran, perilaku, dan tanggung jawab yang melekat pada keseluruhan struktur dan substruktur sistem politik.
Dalam mewujudkan kepentingan umum sebagai tujuan tertinggi, sebagaimana pandangan fungsional-struktural Easton-Almond, sistem politik mesti bekerja secara fungsional dalam mana setiap subsistem menjalankan fungsinya dengan baik untuk menjamin ekuilibrium, keseimbangan.
Dalam praksis, atau politik sebagai tindakan, paradoks sering kali terjadi.
Ketidakseimbangan terjadi karena tak ada kesebangunan antara aksi dan refleksi.
Praksis politik kental dengan aspek aksi, tetapi krisis refleksi karena para pelaku politik melarikan diri dari tanggung jawab etis terhadap kepentingan umum dan terhadap negara sebagai sistem.
Kritik di Ruang Publik
Kritik adalah dimensi yang fundamental dari bangunan demokrasi.
Maka, perlu ada oposisi, entah parlemen ataupun jalanan, yang secara konsisten menyampaikan suara kenabian atas nama rakyat.
Sayangnya, oposisi yang muncul di panggung sering kali kehilangan legitimasi moral karena motif, intensi, dan modus kontradiktif dengan prinsip etika politik.
Isu komunisme dijadikan dagangan politik dari pemilu ke pemilu.
Kritik yang ideal mengandaikan hal-hal dasar ini ada.
Pertama, oposisi memahami kritik sebagai penguatan terhadap demokrasi, bukan senjata merebut kekuasaan dengan mengotori ruang publik dengan fitnah, berita palsu, dan kebencian.
Berikut, proses dialektis dalam ruang publik mengedepankan tak sekadar fakta empiris, tetapi juga motif moral, karena tanpa keduanya, kritik hanyalah kobaran api yang berpotensi menghanguskan.
Yang ketiga, ruang publik sebagai medan diskursif yang bebas, terbuka, dan transparan.
Tokoh generasi kedua Mazhab Frankfurt, Jurgen Habermas (lahir 1929), menekankan tindakan komunikatif dalam praksis demokrasi.
Baginya, kritik tanpa adanya ”interaksi komunikatif” (dengan adanya saling pengertian) hanya merupakan tindak penaklukan.
Pandangan Habermas mungkin dipengaruhi hilangnya harapan pada gerakan mahasiswa Kiri yang malah cenderung anarkis dan penuh kekerasan --sebagaimana tertuang dalam Protestbewegung und Hochschulreform (1969).
Yang jelas, ia telah mengakhiri kebuntuan Teori Kritis di tangan para pendahulunya (Adorno, Horkheimer, dan Marcuse), sekaligus memberikan pencerahan baru dalam memahami ontologi demokrasi modern di tengah faksionalisme sosial dan ideologis yang kompleks dan tajam.
Kalau Teori Kritis lama penuh pesimisme tanpa solusi yang jelas, Habermas justru memasukkan konsep komunikasi ke dalam gerakan kritis ini yang berlanjut pada pendalaman tentang demokrasi deliberatif.
Ketika berbicara demokrasi deliberatif, Habermas menekankan sentralitas ruang publik sebagai wahana masyarakat untuk menghimpun kekuatan solidaritas melawan mesin pasar dan mesin politik.
Berdemokrasi tak hanya berbicara tentang prosedur, tetapi bagaimana prosedur dibuat dan apa peran warga negara di dalam proses tersebut.
Mereka yang berseberangan dengan administrasi Presiden Jokowi harusnya masuk ke langgam paling luhur dari proses politik yaitu kedaulatan rakyat.
Karena sebagai tindakan komunikatif yang menempatkan publik sebagai subyek dari perubahan sosial-politik, deliberasi mesti memantulkan suara rakyat dan bermakna pencerdasan publik.
Posisi Negara
Negara tak hanya dipahami sebagai institusi yang dibatasi ruang, aturan, dan wewenang --sebagai refleksi paling sempurna dari keseluruhan rakyat dan kedaulatan rakyat.
Maka, praksis demokrasi mengandaikan negara dan masyarakat secara ontologis berada pada posisi integral, meskipun secara deontologis berada pada ruang tanggung jawab yang terpisah.
Negara, dalam perannya yang diatur konstitusi, bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan rakyat.
Sebaliknya, rakyat, dalam perannya yang jamak dan unik, bertanggung jawab atas keselamatan negara.
Refleksi
Komprehensi di atas mengandung konsekuensi.
Pertama, mereka yang mengisi ruang kekuasaan dalam bangunan negara harus mencerminkan kehendak rakyat.
Wakil rakyat di Senayan mengutamakan ”agregasi kepentingan rakyat” ketimbang ”dendam politik” kelompok.
Kedua, kehendak rakyat adalah kehendak negara.
Dalam konteks partikular, kehendak negara bisa menjadi kehendak rakyat, meski tak otomatis.
Contohnya, dalam kebijakan perang terhadap terorisme dan separatisme, kehendak negara sifatnya imperatif kategoris dalam konteks keselamatan rakyat dan negara.
Rakyat pantas mengajukan pertimbangan sebagai ”tindakan komunikatif“ dalam konteks ”deliberasi”-nya Habermas.
Untuk itu, ruang publik harus mudah diakses dan terbuka bagi semua.
Ketiga, setiap orang yang berambisi meraih kekuasaan dalam demokrasi harus mengakui dan menghargai ideologi dan konstitusi negara.
Mereka yang menghendaki perubahan sistem politik dan ideologi negara, tak layak, baik secara konstitusional maupun politik untuk masuk ke arena kontestasi demokrasi.
Kontestasi dalam demokrasi dimaksudkan untuk memelihara kelangsungan negara dan menjamin terciptanya kebaikan umum dalam bingkai konstitusi.
Hal itu tak berarti kritik terhadap pemerintah sebagai representasi negara adalah haram.
Kritik itu keniscayaan yang memungkinkan demokrasi hidup sehat.
Ruang publik harus terbuka bagi beragam diskursus, kritik, dan pandangan sembari mengedepankan akal sehat, data valid, dan motif moral supaya kritik tidak menjelma menjadi penaklukan sosial berbasis kebencian. (Boni Hargens, Akademisi sekaligus Direktur Eksekutif LPI atau Lembaga Pemilih Indonesia)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Kritik dan Ruang Publik”. Klik untuk baca: Kritik dan Ruang Publik - Kompas.id.