Anak-anak di Norwegia sejak kecil diajarkan belajar untuk hidup, bukan belajar untuk ujian.
Guru berperan sebagai fasilitator, bukan penguasa kelas. Mereka belajar melalui pengalaman nyata dari alam, proyek sosial, hingga kegiatan komunitas. Belajar menjadi aktivitas yang menyenangkan dan bermakna.
Pola Asuh yang Demokratis
Baca Juga:
Konsulat India Temui Wali Kota Gunungsitoli, Jajaki Peluang Kerja Sama Sektor Pendidikan-Pertanian
Orang tua di Norwegia melatih anak mandiri sejak dini.
Mereka memberi pilihan, bukan tekanan. Akibatnya, anak-anak tumbuh dengan rasa tanggung jawab terhadap pilihannya sendiri. Disiplin bukan karena takut dimarahi, tapi karena sadar bahwa tanggung jawab adalah bagian dari kehidupan.
Lingkungan yang Aman dan Mendukung
Setiap komunitas punya ruang publik untuk remaja pusat aktivitas, taman belajar, dan klub seni. Anak-anak punya tempat menyalurkan energi dan kreativitas. Mereka merasa menjadi bagian dari masyarakat yang peduli.
Baca Juga:
Bahasa Inggris Jadi Pelajaran Wajib di SD Didukung Pakar UGM, Tapi Kasih Catatan Ini
Mengapa Remaja Indonesia Belum Seperti Itu?
Kita tidak kekurangan anak cerdas, tetapi sering kali mereka tumbuh di ekosistem yang kurang memberi contoh keteladanan dan ruang eksplorasi.
Beberapa hal yang masih menjadi penghambat :
• Pendidikan terlalu akademis.
Fokus pada nilai dan ujian, bukan karakter dan kreativitas.
• Pola asuh terlalu mengontrol.
Anak diarahkan, tapi jarang dilibatkan dalam keputusan.
• Kurangnya ruang positif di luar sekolah.
Banyak remaja tumbuh di lingkungan sosial yang tidak mendukung pembentukan karakter.
• Minim teladan gigih dari figur publik.
Ketika yang diidolakan bukan orang yang bekerja keras, anak kehilangan panutan nyata.