Kedua, ia menegaskan bahwa posisi Gubernur DKI Jakarta bukanlah batu loncatan menuju pencalonan presiden, melainkan amanah yang harus diselesaikan dengan penuh tanggung jawab. Ketiga, melalui pernyataannya, Pramono menyampaikan pesan moral bahwa jabatan publik adalah ruang pengabdian, bukan sekadar arena pencitraan untuk mengejar kekuasaan yang lebih tinggi.
Namun, dari sisi kerugiannya, juga terdapat tiga hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, masyarakat Jakarta berpotensi kehilangan harapan untuk dipimpin lebih lama oleh sosok yang dianggap jujur, tulus, dan bekerja demi pengabdian, bukan ambisi pribadi.
Baca Juga:
Harap Rasional Bung, RPJMD DKI Jakarta Sedang Disusun!
Kedua, baik masyarakat Jakarta maupun Indonesia dapat kehilangan kesempatan munculnya figur calon presiden alternatif dengan karakter kepemimpinan yang kuat dan rendah hati seperti Pramono Anung. Di tengah minimnya figur negarawan, keputusan tersebut mungkin mengurangi pilihan berkualitas bagi bangsa.
Ketiga, publik bisa kehilangan teladan pemimpin yang ikhlas bekerja tanpa mengejar jabatan lebih tinggi. Ketika banyak pemimpin berlomba membangun citra untuk dua periode atau panggung nasional, sikap seperti Pramono semestinya menjadi inspirasi moral dalam etika politik.
Oke, itu dulu uraian mengenai untung dan rugi dari pernyataan Gubernur Pramono. Hal-hal yang lebih khusus dan mendalam—baik terkait dampaknya bagi Pramono sendiri, PDI Perjuangan, maupun masyarakat Jakarta dan rakyat Indonesia—akan saya sampaikan pada waktu yang tepat.
Baca Juga:
Pencanangan HUT ke-498 Kota Jakarta, Gubernur Pramono Resmikan Blok M Hub
Pada akhirnya, pernyataan “tak tergiur nyapres” dan “hanya ingin menjabat Gubernur satu periode saja” menyimpan makna yang sangat dalam. Diperlukan kajian dan analisis yang lebih mendalam untuk menakarnya, agar masyarakat Jakarta dan rakyat Indonesia memperoleh gambaran utuh tentang pesan moral serta arah politik yang ingin disampaikan melalui sikap tersebut.
[Redaktur: Alpredo Gultom]