Dengan kerangka tersebut, pandangan bahwa kebijakan Pramono reaktif jelas tidak berdasar. Gerak cepat menghadapi banjir bukan bukti kelemahan strategi, melainkan bagian dari sistem pengelolaan risiko yang terintegrasi. Langkah operasional seperti pengaktifan pompa, pembukaan pintu air, dan pemantauan sungai merupakan bagian penting dari strategi mitigasi terpadu. Namun, mengatasi akar persoalan banjir Jakarta tetap membutuhkan kerja sama besar antarwilayah, perencanaan matang, dan sinergi antarlembaga.
Untuk mewujudkan perubahan yang berkelanjutan, pemerintah perlu memperkuat kerja sama antarprovinsi dan kabupaten penyangga dalam pengelolaan DAS, menetapkan indikator keberhasilan mitigasi yang terukur dalam RPJMD, menegakkan regulasi bangunan di zona rawan, serta mengarahkan anggaran menuju adaptasi iklim dan keberlanjutan ekosistem perkotaan. Transparansi dan akuntabilitas publik juga menjadi kunci agar masyarakat dapat mengawasi progres kebijakan secara objektif.
Baca Juga:
Hujan Ekstrem Landa Vietnam, 35 Orang Tewas dan Kerugian Capai Rp9,6 Triliun
Publik perlu memahami bahwa kewenangan Gubernur Pramono belum sepenuhnya terimplementasi dalam APBD 2025. Oleh karena itu, harapan terhadap “solusi cepat” perlu disesuaikan dengan realitas kelembagaan yang ada. Pada saat yang sama, masyarakat juga berhak menuntut agar program struktural yang disusun dalam RPJMD mulai menampakkan hasil pada tahun-tahun berikutnya.
Menimpakan seluruh kesalahan kepada gubernur jelas keliru, karena banjir Jakarta merupakan persoalan bersama yang menuntut tanggung jawab kolektif. Pendekatan reaktif mungkin memberikan dampak jangka pendek, namun untuk memastikan Jakarta terbebas dari siklus banjir tahunan, dibutuhkan visi besar yang menekankan transformasi struktural, ekologis, inklusif, dan lintas wilayah.
[Redaktur: Alpredo Gultom]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.