WAHANANEWS.CO, Jakarta- Pasca Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1646 Hijriah (1 April 2025), dunia digegerkan dengan manuver perdagangan dari Amerika Serikat. Tepat pada Rabu petang (2/4/2025) waktu Washington, atau Kamis pagi (3/4/2025) waktu Jakarta, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan kebijakan tarif baru terhadap banyak mitra dagang, termasuk Indonesia. Terkait hal ini, Trump menyebut pengumumannya sebagai “Hari Pembebasan.”
Untuk Indonesia, Presiden Trump mengungkapkan bahwa negara ini dikenakan tarif timbal balik sebesar 32 persen. Dalam pidatonya, Trump menyatakan bahwa defisit perdagangan merupakan masalah nasional yang harus segera diatasi, serta menekankan bahwa AS akan mengutamakan kepentingan negaranya.
Baca Juga:
Trump Tunda Tarif 90 Hari, Tapi untuk China Naik Lagi Jadi 125%
Sejatinya, Trump sedang menantang dunia dan negara-negara lainnya. Jika semua negara di dunia kompak membalas serangan Presiden AS Donald Trump, kemungkinan besar Negeri Paman Sam ini akan mengalami dampak besar. Saat ini, jumlah penduduk dunia diperkirakan mencapai 8,2 miliar orang, sementara penduduk Amerika Serikat sekitar 343 juta jiwa.
Jika jumlah penduduk dunia yang sekitar 8,2 miliar dikurangi 343 juta penduduk Amerika, maka masih ada sekitar 7,8 miliar penduduk dunia. Jumlah 7,8 miliar orang ini berpotensi melumpuhkan Amerika jika semua negara tersebut bersatu untuk menyerang balik Amerika Serikat. Dalam kondisi ini, kebijakan perang dagang Trump berpotensi menjadi bencana besar bagi Amerika Serikat itu sendiri.
Dalam konteks kebijakan Presiden AS, Donald Trump, tarif baru yang dikenakan terhadap Indonesia hanya berbeda 2 persen dengan tarif yang dikenakan kepada China, yaitu 34 persen. Negara-negara ASEAN lainnya, seperti Thailand dan Vietnam, juga menghadapi tarif tinggi, yaitu 36 persen dan 46 persen. Meskipun demikian, Indonesia masih mencatatkan surplus perdagangan dengan AS pada tahun 2024 sebesar 16,84 miliar dolar AS.
Baca Juga:
China Serang Balik! Tarif Naik Jadi 84%, Trump Dibuat Pusing
Sebelum pengumuman ini, diketahui, Trump sudah mengenakan tarif 20 persen untuk produk impor dari China dan 25 persen untuk baja serta aluminium. Pengumuman tarif ini memicu ketidakpastian global dan dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi dunia, dengan dampak yang diperkirakan mencapai 1 persen hingga beberapa kwartal mendatang.
Uni Eropa dan Kanada, sebagai mitra dekat AS, sudah menyatakan kesiapan untuk membalas kebijakan Trump. Uni Eropa akan mengenakan tarif sebesar 20 persen, sementara Kanada berencana membela ekonominya. Sementara itu, PM Inggris Keir Starmer mengungkapkan adanya pembicaraan produktif dengan Trump terkait kebijakan ini.
Presiden RI, Prabowo Subianto, mengakui bahwa kebijakan tarif impor dari Presiden Trump akan berdampak langsung pada Indonesia. Ia memprediksi sektor-sektor seperti industri tekstil, garmen, dan furnitur akan mengalami dampak yang cukup berat. Namun, Prabowo menegaskan bahwa Indonesia harus berani mencari pasar baru dan tidak terlalu bergantung pada ekonomi Amerika Serikat.
Sebagai seseorang yang berpengalaman dalam menangani ekspor dan impor serta memiliki latar belakang dalam bidang kepabeanan dan klasifikasi tarif barang (Boomzaken ), saya menyaksikan berbagai perubahan dalam dunia perdagangan internasional. Dari dulu, sektor impor barang di Indonesia memang dihadapkan pada tarif tinggi, terutama untuk barang-barang yang dianggap mewah.
Meskipun demikian, permintaan yang tinggi terhadap barang-barang tersebut, ditambah dengan kualitas yang baik, tetap mendorong masyarakat untuk melakukan impor.
Seiring berjalannya waktu, negara-negara mulai menyadari pentingnya kerja sama dalam perdagangan internasional. Salah satu langkah signifikan adalah kesepakatan tarif antar negara yang mengacu pada perjanjian internasional, seperti penggunaan Sertifikat Asal Barang atau Certifikate Of Origin (COO) untuk memfasilitasi tarif yang lebih rendah, bahkan bisa mencapai 0 persen. Fasilitas ini memberikan kemudahan dan mengurangi beban tarif yang sebelumnya lebih tinggi, menciptakan hubungan perdagangan yang lebih saling menguntungkan antar negara.
Namun, kebijakan proteksionisme yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat, termasuk kenaikan tarif impor hingga 32 persen untuk beberapa barang Indonesia, menjadi tantangan besar yang harus dihadapi. Kebijakan ini tidak dapat dihindari, dan sebagai negara yang terlibat dalam perdagangan global, Indonesia harus cermat dalam menyikapi situasi ini. Salah satu alternatif yang bisa dipertimbangkan adalah kompromi atau negosiasi timbal balik terkait pengurangan tarif antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Solusi utama dalam menghadapi kebijakan ini adalah dengan meningkatkan kualitas produk Indonesia. Tarif yang tinggi memang dapat menekan daya saing produk Indonesia di pasar AS, tetapi ini juga bisa menjadi peluang untuk meningkatkan kualitas barang yang diekspor. Menghadapi perang tarif ini, kita harus lebih fokus pada nilai tambah produk melalui inovasi dan perbaikan kualitas. Produk Indonesia harus bisa bersaing bukan hanya dari sisi harga, tetapi juga dari sisi kualitas yang mampu memenuhi standar internasional.
Selain itu, penting untuk menghadirkan produk baru yang sesuai dengan kebutuhan pasar global yang terus berkembang. Dalam situasi ini, kreativitas dan inovasi akan menjadi kunci utama. Produk-produk baru yang dapat memenuhi kebutuhan pasar internasional akan lebih mudah diterima oleh konsumen global dan bahkan bisa membuka peluang pasar baru.
Strategi lain yang tak kalah penting adalah memperluas pasar ke kawasan-kawasan lain yang memiliki potensi besar, seperti Eropa, Asia, ASEAN, dan Afrika. Eropa, China, Australia, dan India, dengan pasar yang selektif dan konsumennya yang mengutamakan kualitas, memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mengekspor produk-produk berkualitas tinggi.
Begitu pula dengan Asia yang terus mengalami pertumbuhan ekonomi, serta ASEAN. Tak kalah penting, pasar Afrika, yang berkembang pesat, memberikan peluang besar untuk memperkenalkan produk-produk Indonesia, mengingat kebutuhan akan berbagai barang konsumsi semakin meningkat di kawasan ini.
Singkatnya, masih ada peluang besar dari pangsa pasar global selain Amerika Serikat, dengan perkiraan jumlah penduduk dunia mencapai sekitar 7,8 miliar orang. Ini merupakan kesempatan besar yang harus dimanfaatkan Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap Amerika Serikat. Tekanan dari perang tarif 32 persen terhadap produk-produk tertentu harus dijadikan sebagai motivasi dan semangat bagi Indonesia untuk bangkit dan maju.
Menghadapi tantangan tarif tinggi dari AS memang tidak mudah, namun Indonesia harus menyikapinya dengan semangat baru. Seperti yang telah kita lakukan di masa lalu, kita selalu mampu menghadapinya dengan kreativitas dan inovasi. Perluasan pasar dan peningkatan kualitas produk adalah langkah strategis yang harus ditempuh untuk tetap bersaing di pasar global. Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa produk Indonesia tidak hanya bisa bersaing di pasar domestik, tetapi juga siap untuk menghadapi tantangan global.
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat menanggapi kebijakan tarif AS dengan optimisme dan tekad untuk terus maju. Kita tidak perlu gentar; justru ini adalah momentum untuk mengasah daya saing global dan memperkuat posisi Indonesia di pasar internasional.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, meskipun perang tarif yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan tarif 32 persen menjadi tantangan besar, hal ini juga membuka peluang besar bagi Indonesia. Dengan meningkatkan kualitas produk, menghadirkan produk baru, dan memperluas pasar ke Eropa, Asia, ASEAN, serta Afrika, Indonesia tidak hanya akan mampu bertahan, tetapi juga berkembang. Tidak ada yang perlu ditakutkan, karena dengan semangat baru, Indonesia dapat menghadapi tantangan ini dan menjadi pemain yang lebih kuat di pasar global.
[Redaktur: Alpredo Gultom]