Oleh ADJIE SIRADJI
Baca Juga:
Paus Benediktus Meninggal Dunia, Menag: Dia Sosok yang Jembatani Perbedaan
NAMA aktris Cinta Laura Kiehl viral! Dia menjadi perhatian publik menyusul pidatonya dalam acara Malam Peluncuran Moderasi Beragama di kalangan anak muda yang diselenggarakan Kementerian Agama pada 22 September lalu.
Sebagai generasi milenial, aktris lulusan Universitas Columbia (cumlaude), New York (2014), ini tampil percaya diri.
Baca Juga:
Beri Sambutan Natal, Yaqut Bahas Pemimpin yang Hargai Keragaman
Pidatonya bahkan mendapat pujian langsung dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Pidato yang disampaikan di depan jajaran pejabat tinggi Indonesia tersebut merefleksikan majas ironi.
Eskalasi kegaduhan, intoleran, dan kekerasan di Indonesia masih terjadi, dan itu hanya disebabkan oleh perbedaan yang berlatar agama. Moto negara ”Bhinneka Tunggal Ika” seperti lumpuh oleh keterbatasan pemikiran yang tak kritis.
Banyak orang terjebak pada cara berpikir konservatif; memanusiakan Tuhan, merasa memiliki hak mendikte kemauan Tuhan, tahu pemikiran Tuhan, dan bahkan berhak bertindak atas nama Tuhan.
Indonesia Satu Warna?
Kemudian, Menteri Agama pada saat pencanangan Desa Sadar Keberagaman di Bantul pada 29 September lalu juga menyatakan bahwa masih ada sekelompok masyarakat yang menginginkan Indonesia satu warna.
Ini menjadi menarik dicermati karena esensi dari pidato aktris Cinta Laura Kiehl dan pernyataan Menteri Agama saling berkelindan dengan konsep moderasi keberagamaan.
Bhinneka Tunggal Ika realitasnya masih sebatas moto, dan konsep satu warna mengisyaratkan betapa masifnya upaya menafikan keberagaman lewat gempuran terhadap bangunan pluralisme bangsa Indonesia.
Istilah mayoritas dan minoritas belakangan menjadi konsep politik menarik.
Lahirnya terminologi mayoritarianisme; yang mayoritas dalam populasi berhak menentukan keputusan dalam konteks berdemokrasi di Indonesia, adalah bukti nyata.
Mayoritarianisme lahir dari kelompok literalis, revival, konservatif, rigid, berpemikiran tertutup, ekstrem dengan tindakan berdasar doktrin agama merupakan ancaman nyata multikulturalisme.
Dengan demikian, tampilnya aktris Cinta Laura Kiehl yang mewakili generasi milenial dan pernyataan Menteri Agama setidaknya semakin meneguhkan betapa perlunya sikap moderasi dalam beragama bagi bangsa Indonesia, terutama di kalangan anak muda.
Moderasi beragama bisa didefinisikan sebagai cara pandang atau sikap dan praktik beragama lewat pengamalan esensi ajaran-ajaran agama yang hakikatnya mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan menebarkan kemaslahatan bersama.
Terdapat empat hal yang menjadi esensi moderasi beragama.
Pertama, cara pandang atau sikap dan praktik keberagamaan.
Kedua, pengamalan esensi agama itu sendiri yang hakikatnya memanusiakan manusia.
Ketiga, berpegang pada prinsip keadilan dan keseimbangan.
Keempat, taat konstitusi dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pentingnya Moderasi Beragama
Moderasi beragama harus diinterpretasikan sebagai hal yang merujuk pada upaya untuk meminimalkan sikap intoleran, radikal, dan tindakan kekerasan (terorisme), yang berbasis agama.
Sementara maksud lain adalah upaya konstruktif untuk membangun sikap keberagamaan di tengah ketegangan (constrain), dalam menafsirkan esensi agama dan praktik spiritualitas setiap individu atau komunitas masyarakat.
Oleh sebab itu, diperlukan komitmen bersama, terutama dalam membangun toleransi, untuk menghadapi radikalisasi dan kekerasan (teror) itu sendiri.
Sebab, jika tak ada komitmen bersama, berarti telah terjadi pembiaran pada persoalan yang tak hanya mengancam kehidupan keberagamaan itu sendiri, tetapi juga berdampak pada persatuan masyarakat, bangsa, dan negara.
Terdapat tiga alasan penting, mengapa bangsa Indonesia harus memiliki komitmen bersama dalam upaya moderasi beragama.
Pertama, salah satu esensi agama adalah menjaga martabat manusia.
Meskipun setiap agama, terutama agama-agama besar seperti Kristen dan Islam, memiliki elemen yang mentradisikan pembenaran kekerasan, ajaran yang mengandung pesan rohani semestinya lebih diprioritaskan.
Kedua, perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi adalah keniscayaan.
Sementara kitab-kitab suci agama, wahyu Tuhan yang dibukukan sejak ribuan tahun silam, tak hanya berisi ajaran yang bersifat doktrinal, tetapi juga mengandung watak fondasionalisme (kebenaran absolut yang tak dapat disejajarkan dengan kebenaran lainnya, termasuk kebenaran dari agama yang berbeda).
Berbagai multitafsir, pembenaran sepihak yang sering menjadi penyebab konflik verbal atau fisik mengisyaratkan jika kitab suci agama tak lagi memadai, mampu mewadahi, dan bisa menjadi penyejuk spiritual masyarakat bangsa dengan segala kompleksitas persoalannya di abad ke-21 ini.
Ketiga, strategi moderasi beragama di Indonesia bisa dilakukan lewat budaya dalam konteks merawat heterogenitas, dengan Pancasila sebagai warisan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejauh ini, Pancasila realitasnya telah berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya Indonesia.
Nilai-nilai agama dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal telah mampu menjaga kerukunan beragama dan keamanan bangsa.
Itulah sesungguhnya jati diri bangsa Indonesia, bangsa yang hidup dalam negara yang tak mendasarkan diri pada ”satu warna” agama, melainkan religious nation state atau negara kebangsaan yang berketuhanan.
Intoleransi, radikalisme, dan kekerasan berbasis agama bisa merusak sendi-sendi keindonesiaan.
Oleh sebab itu, moderasi beragama adalah conditio sine qua non atau kondisi yang harus direalisasikan untuk kedamaian dan keamanan bangsa dan negara.
Generasi milenial adalah the most important sociaty, ahli waris masa depan sebuah bangsa.
Tampilnya Cinta Laura Kiehl dengan kritik teologisnya merepresentasikan suara generasi milenial.
Dan itu harus kita apresiasi dan untuk kita cermati bersama.
Dalam menjawab tantangan ”mimpi besar bangsa; Indonesia Emas 2045”, kepada mereka, generasi milenial, harus juga dibekali dengan ajaran yang berorientasi pada bidang akademis, ilmiah atau sains. Bukan ajaran yang bersifat doktrinal, teologis, yang justru sering melahirkan ideologi kebencian.
Negara kaya, maju, dan modern tak harus besar secara geografis, atau negara yang memiliki sumber daya alam melimpah.
Namun, negara yang mampu memberikan pendidikan berkualitas bagi generasi penerusnya (milenial).
Kualitas pendidikan akan melahirkan sumber daya manusia andal dengan tingkat kecerdasan (empirik) yang berkaitan dengan intelektualitas, kreativitas, dan inovasi orisinal yang menunjang perekonomian bangsa. (Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Moderasi Beragama Generasi Milenial”. Klik untuk baca: Moderasi Beragama Generasi Milenial - Kompas.id.