Pengantar
Artikel ini ditulis 1 Syawal 1445 Hijriah, sebagai bacaan ringan sambil merayakan Lebaran. Semoga para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dapat merayakan Lebaran dengan khidmat dan di bawah bimbingan Allah Subhanallah wa Ta'ala. Mohon maaf lahir batin.
Baca Juga:
Babak Baru UU Cipta Kerja: MK Menangkan Gugatan, Revisi Menyeluruh Segera Dilakukan
Sudah terlalu lama, bahkan bertahun-tahun Mahkamah Konstitusi (MK) itu diplesetkan sebagai mahkamah kalkulator. Bahkan, belakangan ini lebih ‘serem’ lagi disebut sebagai mahkamah keluarga, bahkan mahkamah dinasti.
Biang kerok, adalah Paman Anwar Usman. Diberi gelar "Paman" oleh pers karena sebagai Ketua Hakim Konstitusi, mengawini adik Joko Widodo, Presiden Indonesia.
Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden Indonesia menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU)--hasil pengumuman KPU, Rabu, 20 Maret 2023 adalah ponakan Paman Anwar Usman. Dengan berbagai cara Paman Anwar Usman menggolkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Keputusan itu menjadi dasar KPU membentangkan karpet merah kepada Gibran melenggang menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo sebagai calon presiden.
Ketua KPU Hasyim Asyari, begitu saja mengesyahkan pasangan Prabowo dan Gibran dengan menabrak Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 19 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden–yang harus diubah dulu sesuai Keputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Perubahan PKPU itu dan konsultasi dengan DPR tidak dilakukan oleh KPU. Akibatnya Ketua KPU mendapat peringatan keras dan terakhir dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Persoalan tersebut mengalir ke MK, Paslon 1 dan 3 mengajukan perkaranya dengan bukti data dan fakta serta ahli dan saksi di persidangan.
Baru kali ini, panel hakim yang bersidang dihadiri oleh 8 Hakim dari 9 hakim konstitusi. Rupanya, Paman Anwar Usman mendapatkan hukuman dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tak boleh ikut menyidangkan perkara terkait pemilihan umum (pemilu).
Kalau kita cermati jalannya sidang MK kali ini, terkesan berbeda dengan sidang sengketa Pemilu 2014 dan 2019. Isu tentang pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM), mewarnai dominan dibandingkan dengan angka-angka selisih perolehan suara pemilihan presiden (pilpres) yang sangat mencolok, yaitu 01, 24% diraih Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar, Prabowo - Gibran yakni 02 di 58%, dan 16% untuk 03.
Ahli informatika Teknologi (IT) Paslon 01, menyatakan yang kira-kira dimaknai jika sampah yang masuk, maka sampah yang keluar.
Ahli IT tidak dapat menghitung angka perolehan setiap paslon jika sumber angkanya (form C1) tidak dibuka oleh KPU. Angka-angka yang ditampilkan Sistem Informasi Rekapitulasi (sirekap) KPU itu sudah rusak berat. Harus diaudit forensik.
Sidang juga mencoba membongkar peran bantuan sosial (bansos) dalam Pilpres 2024 ini. Pengalaman saya mengikuti perkembangan bansos sebagai bagian dari program perlindungan sosial. Baru kali ini bansos secara terbuka dan terang-terangan tanpa rasa malu dijadikan sebagai instrumen kepentingan politik memenangkan paslon tertentu, yang melibatkan langsung Presiden Joko Widodo.
Apakah pemilu sebelumnya instrumen bansos tidak digunakan? Jawabannya, digunakan oleh paslon dari partai yang elite politiknya duduk dan menguasai pemerintahan. Tetapi, lebih halus dan terselubung.
Sekarang ini, pemberian bansos itu jelas "terstruktur" karena sudah direncanakan sejak awal dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2023 dan 2024. Kebijakan automatic adjustment 5% dari APBN sektor kementerian menghasilkan dana Rp50 triliun.
Penyaluran bansos yang bersifat barang 'in kind' berdasarkan kebijakan Presiden tidak dilaksanakan oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Pada hal, UU 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin jelas tugas pokok dan fungsi Kemensos. Implementasinya, diserahkan kepada Badan Pangan Nasional (Bappenas), Kemenko Perekonomian dan Badan Urusan Logistik (Bulog).
Pergerakan bansos itu, sangatlah "sistematis". Pemberian tidak berdasarkan data terpadu kesejahteraan Sosial (DTKS). Tetapi, data yang dikeluarkan oleh Kemenko PMK dan Kemenko Perekonomian, dan pengajuan dari kepala desa dan relawan paslon tertentu.
Tidak tanggung-tanggung, secara sistematis juga diberikan kepada sasaran penerima manfaat mulai dari presiden, menteri, bupati-walikota, dan tim kampanye di masa kampanye.
Jelas masif, karena menyasar 22 juta keluarga (sekira 88 jiwa), dengan sasaran utama provinsi yang posisi paslon tertentu sangat rendah (misal Jawa Tengah) untuk ditingkatkan dukungannya dengan iming-iming bansos tersebut.
Sepertinya, kedelapan hakim konstitusi mencermati betul kedua isu IT, sirekap dan bansos, sehingga memerlukan menghadirkan dua Menteri koordinator (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dan Perekonomian), Menteri Keuangan (Menkeu) dan Menteri Sosial (Mensos).
Pertanyaan Hakim MK cukup tajam menukik kepada yang didalilkan pemohon. Sudah dapat diduga keempat menteri itu menjawab normatif. Tetapi, ada juga jawaban yang terselubung seperti apa yang dikatakan Mensos Tri Rismaharini. Bahwa, Bansos Kemensos bentuknya transfer uang kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) sesuai dengan DTKS. Jika ada diluar itu Mensos tidak menangani.
Menimbang Keputusan MK
Tentunya Majelis Hakim MK, bekerja keras menjelang tanggal 22 April 2024, yakni waktu paling lambat diumumkannya Keputusan MK.
Hakim MK dalam bekerja itu diawasi dan bertanggungjawab pada Allah SWT dan internal kontrol hati nurani. Kemampuan menggali data, fakta, dan keterangan ahli-saksi menjadi suatu keharusan, dengan menghilangkan rasa ketakutan, ancaman, dan tekanan yang terlihat maupun tidak terlihat.
Sensor yang digunakan hati nurani, dengan mengedepankan kejujuran, keadilan dan kebenaran. Implikasi keputusan yang tidak kokoh landasan keadilan, kepastian dan kebermanfaatam akan dapat merusak tatanan dan moralitas bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut hemat kami ada beberapa pilihan keputusan hakim yang mungkin terjadi. Pertama, menolak petitum seluruhnya atau sebagian, atau kedua; menerima petitum seluruhnya atau sebagian.
Ada 6 petitum pemohon Paslon 01 dan 03, yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi dikombinasikan sebagai berikut:
Kesatu, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 tertanggal 20 Maret 2024, sepanjang mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024.
Ketiga, mendiskualifikasi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka selaku pasangan calon peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1632 dan Wakil Presiden Tahun 2024 tertanggal 14 November 2023.
Keempat, mendiskualifikasi Gibran Rakabuming Raka selaku paslon Pemilu Calon Wakil Presiden. Agar Paslon Presiden Prabowo Subianto memilih Capres lain sebagai pengganti Gibran.
Kelima, memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 antara Anies Rasyid Baswedan dan A Muhaimin Iskandar sebagai Pasangan Calon Nomor Urut 01, Prabowo dengan Calon Wapres pengganti Gibran sebagai Pasangan Calon Nomor Urut 02, dan Ganjar Pranowo, dan M Mahfud MD selaku Pasangan Calon Nomor Urut 03 di seluruh Tempat Pemungutan Suara di seluruh Indonesia selambat-lambatnya pada tanggal 26 Juni 2024.
Keenam, memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan putusan ini. (rangkuman petitum pemohon 01 dan 03).
Apa pun, keputusan Mahkamah Konstitusi tentu ada yang menerima dan ada yang menolak. Tetapi, keputusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. Bagi yang menolak hanya kepada Allah saja bisa mengadu, dan bagi yang menerima juga harus kepada Allah SWT, bersyukur.
Semoga akal sehat, nilai Keimanan dan Ketaqwaan 8 Hakim kepada Allah SWT menjadi nilai sakral yang dijunjung dalam membuat keputusan.
Jakarta, Selasa, 10 April 2024
*Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional (FISIP UNAS).
[Redaktur: Hendrik Isnaini Raseukiy]