Sebab, beberapa peristiwa justru menunjukkan kontradiksi dengan konsepsi pemolisian demokratik.
Pertama, peragaan kekerasan aparat, seperti dalam penanganan unjuk rasa #ReformasiDikorupsi tahun 2019 dan unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja pada 2020.
Baca Juga:
Tak Percaya Brigadir RAT Bunuh Diri, Istri Ungkap Suaminya Bertugas Kawal Pengusaha
Bentuk tindakan kekerasan Polri dapat berupa penganiayaan, pengeroyokan, pemukulan, intimidasi penghapusan video kekerasan aparat, dan lain-lain.
Selain itu, tercatat juga adanya pembatasan akses informasi, hingga tindakan penghalang-halangan akses bantuan hukum bagi pengunjuk rasa yang ditangkap.
Ihwal tindakan kekerasan aparat ini dari tahun ke tahun selalu menjadi lokus kritik pelbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk oleh Komnas HAM.
Baca Juga:
Badan Bank Tanah dan Polri Sinergi Pengelolaan Tanah dalam MoU
Bahkan, pada aksi #ReformasiDikorupsi pada 24-30 September 2019, Komnas HAM mencatat ada dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polri.
Dalam catatan Komnas HAM pun, Polri menjadi lembaga yang paling banyak diadukan kepada Komnas HAM sepanjang 2020, di antaranya terkait lambannya penanganan kasus, dugaan kriminalisasi, proses hukum tidak sesuai prosedur, dan dugaan kekerasan.
Kedua, kultur kekerasan juga terlihat dalam peristiwa yang terjadi di ruang tahanan Polri.