Sebab, penggunaannya sering dinilai bukan lagi berorientasi untuk melumpuhkan target, melainkan mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang atau beberapa orang warga negara.
Polri sebenarnya telah memiliki Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, yang mengatur tahapan dan orientasi penggunaan senjata api, sebagai bagian dari standar yang harus dipatuhi oleh anggota Polri.
Baca Juga:
Badan Bank Tanah dan Polri Sinergi Pengelolaan Tanah dalam MoU
Namun, dalam beberapa kasus, seperti penembakan enam anggota Laskar Pembela Islam (FPI) pada 7 Desember 2020, penembakan terhadap ZA (25) yang melakukan penyerangan di Mabes Polri pada 31 Maret lalu, serta penembakan terhadap seorang DPO kasus judi di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa kepatuhan pada peraturan tersebut belum sepenuhnya diinternalisasi dan dipedomani.
Menurut Setara Institute, dalam kasus-kasus penembakan yang mematikan, semestinya Polri menerbitkan white paper sebagai bagian dari akuntabilitas penggunaan senjata api.
White paper ini menjelaskan kepada publik tentang peristiwa-peristiwa tersebut dan level keberbahayaannya sehingga tidak menimbulkan kontroversi.
Baca Juga:
Pertamina dan Polri Jalin Sinergi Publikasi dan Edukasi untuk Bangun Kepercayaan Masyarakat
White paper itulah yang akan menjadi ruang pembelaan Polri untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, termasuk memberikan pengakuan jujur tentang potensi unprocedural conduct sehingga memberikan sanksi kepada anggota.
Suburnya kultur kekerasan Polri tersebut juga terlihat pada catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Sepanjang Juni 2020 hingga Mei 2021 di tengah pandemi Covid-19, KontraS mencatat 651 dugaan kekerasan melibatkan aparat Polri.