Kasus Herman, tahanan yang tewas di sel Mapolresta Balikpapan pada Desember 2020, menjadi cerminan puncak gunung es peristiwa serupa.
Dalam kasus Herman, Polri telah menetapkan 6 (enam) polisi menjadi tersangka.
Baca Juga:
Tak Percaya Brigadir RAT Bunuh Diri, Istri Ungkap Suaminya Bertugas Kawal Pengusaha
Kekerasan dan dugaan praktik penyiksaan terjadi karena model penyelidikan, interogasi yang dilakukan polisi untuk memperoleh pengakuan dan informasi dengan cara kekerasan, seharusnya menjadi masa lalu karena bertentangan dengan pemolisian demokratik.
Dalih kepolisian bahwa si korban dianiaya oleh tahanan lain bukanlah pembenaran yang bisa diterima, melainkan justru menunjukkan kompleksitas praktik penyiksaan ini, mulai dari dugaan dilakukan pihak kepolisian, tahanan lain, kelalaian kepolisian dalam menjaga para tahanan, hingga ketidakmampuan kepolisian dalam menjamin rasa aman, penegakan hukum, dan HAM setiap tahanan.
Ketiga, praktik kekerasan yang dialami Luthfi (20), pemuda pembawa bendera yang viral saat unjuk rasa di DPR.
Baca Juga:
Badan Bank Tanah dan Polri Sinergi Pengelolaan Tanah dalam MoU
Di hadapan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020), Luthfi mengaku dianiaya oleh penyidik kepolisian saat dimintai keterangan di Polres Jakarta Barat, yang bertujuan memperoleh pengakuan bahwa dirinya telah melempar batu kepada aparat kepolisian yang saat itu tengah mengamankan aksi di depan Gedung MPR/DPR.
Tindakan kekerasan oleh aparat itu membuat Luthfi terpaksa mengakui perbuatannya.
Keempat, isu penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian yang juga perlu disoroti dengan serius.