Oleh HASIBULLAH SATRAWI
Baca Juga:
Timnas Indonesia Hadapi Arab Saudi di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Putaran Ketiga
DALAM momen peringatan serangan terorisme paling akbar yang menghantam Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001, Arab Saudi kembali mendapatkan “tamparan politik” akibat kebijakan AS.
Sebagaimana dimaklumi, Presiden AS Joe Biden akhirnya menandatangani perintah eksekutif untuk membuka dokumen terkait serangan terorisme yang menyerang simbol kekuasaan AS itu, Jumat (3/9/2021).
Baca Juga:
Kanwil Kemenag Kaltara Alokasikan 221.000 Jatah Haji untuk Tahun 2025
Beberapa hari kemudian, Rabu (8/9/2021), Kedutaan Arab Saudi di AS menyampaikan pernyataan yang pada intinya mendukung keputusan Presiden AS untuk membuka dokumen terkait serangan 11 September 2001.
Melalui pernyataan yang ada, Arab Saudi juga menegaskan negara itu tidak terlibat dengan serangan yang dilakukan Al-Qaeda tersebut (CNNIndonesia.com, 9/9/2021).
Sebagaimana dimaklumi, sebagian dari pelaku serangan 11 September 2001 berkebangsaan Arab Saudi, termasuk Osama bin Laden.
Apabila indikasinya cukup kuat, hal ini akan menjadi persoalan yang tidak ringan bagi Arab Saudi, baik secara hukum maupun politik.
Secara hukum, berdasarkan Justice Against Sponsors of Terrorism Act (JASTA) yang berlaku di AS, keluarga korban bisa menuntut negara yang terlibat dalam serangan terorisme.
Sementara itu, secara politik, kondisi ini akan semakin menyulitkan hubungan Arab Saudi dengan AS, khususnya di bawah kepemimpinan Joe Biden yang sangat menekankan terkait persoalan HAM dan demokrasi.
Bukan kali ini saja Arab Saudi mendapatkan dampak dari kebijakan AS, khususnya semenjak Joe Biden menjadi Presiden AS.
Beberapa bulan lalu, AS juga membuka laporan intelijen yang menuduh Putra Mahkota Arab Saudi, Muhammad bin Salman (MBS), berada di balik pembunuhan keji terhadap wartawan senior Arab Saudi, Jamal Khashoggi, Sabtu (27/2/2021).
Melalui jaringan politik dan media yang dikuasai, Arab Saudi menolak keras tuduhan AS di atas sembari menegaskan independensi hukum Arab Saudi yang telah menegaskan MBS tidak terlibat dalam pembunuhan keji tersebut.
Bahkan, beberapa media di bawah jaringan Arab Saudi menegaskan adanya dukungan dari “dunia Islam” dan “negara-negara Arab” terhadap sikap Arab Saudi (aawsat.com, 28/2/2021).
Pengumuman laporan intelijen AS terkait pembunuhan keji terhadap Jamal Khashoggi (2018) dan laporan terkait serangan 11 September 2001 menjadi salah satu bukti awal terkait janji perubahan kebijakan politik luar negeri AS di bawah kepemimpinan Joe Biden.
Berkali-kali Joe Biden menegaskan bahwa persoalan HAM dan demokrasi akan mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintahannya.
Hal ini berbeda dengan pemerintahan AS sebelumnya (di bawah kepemimpinan Trump) yang tidak terlalu memerhatikan persoalan HAM dan demokrasi.
Bahkan, laporan intelijen AS terkait persoalan ini tidak dipublikasikan pada masa pemerintahan Trump.
Penuh Beban
Dalam hemat penulis, Arab Saudi sejak awal mengetahui bahwa kepemimpinan Biden akan sangat berbeda dengan Trump, khususnya terkait persoalan demokrasi dan HAM.
Bila boleh memilih, Arab Saudi justru akan lebih memilih Trump yang memimpin AS (kembali) daripada Biden mengingat Trump tidak terlalu perhatian dengan persoalan HAM dan demokrasi yang justru menjadi kelemahan terkuat Arab Saudi.
Itu sebabnya sampai detik-detik akhir pemilihan presiden AS mutakhir, Arab Saudi beserta negara-negara Arab Teluk lainnya memberikan semua dukungannya untuk kemenangan Trump.
Apalah daya, Trump tetap kalah, bahkan kalah dengan keadaan yang sangat mengenaskan.
Dalam catatan penulis, sejak kemenangan Biden sebagai pemimpin baru AS, kebijakan politik luar negeri Arab Saudi berjalan dengan penuh beban.
Ibarat dalam permainan sepakbola, Arab Saudi tampak menjalankan politik luar negerinya dengan penuh beban dan cukup tertekan.
Beberapa langkah antisipasi tetap dilakukan dalam rangka “menyelamatkan yang bisa diselamatkan” dan berupaya agar situasinya tidak semakin buruk bagi Arab Saudi.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) antara negara-negara Arab Teluk yang dilaksanakan di Arab Saudi pada awal tahun ini, Selasa (5/1/2021), bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari upaya yang tetap dilakukan Arab Saudi untuk menyelamatkan yang bisa diselamatkan, khususnya mengantisipasi kepemimpinan AS di bawah pemerintahan Biden.
Sebagaimana dimaklumi, Arab Saudi tampak sangat berambisi mengakhiri krisis politiknya dengan Qatar walaupun sebagian negara Arab Teluk lain mungkin tidak terlalu bahagia dengan kembalinya Qatar tersebut.
Bahkan, Arab Saudi rela membuka kembali perbatasannya (udara, laut, dan darat) dengan Qatar sebelum KTT dilaksanakan.
Inilah yang diduga kuat berhasil meyakinkan pemerintahan Qatar untuk datang ke KTT tersebut dan melakukan rekonsiliasi dengan negara-negara Arab Teluk yang lain.
Bagi Arab Saudi, rekonsiliasi Arab Teluk ini sangat penting untuk menghadapi perkembangan politik regional dan global setelah Joe Biden memimpin AS menggantikan Trump.
Rekonsiliasi ini menjadi pelengkap tiga “kartu sakti” Arab Saudi dalam menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi, yaitu kartu Arab Teluk, kartu negara-negara Arab, dan kartu dunia Islam.
Kalah untuk Menang
Hanya beberapa hari semenjak Biden menjadi pemimpin AS, Arab Saudi sudah merasakan “pahitnya” AS di bawah pemerintahan Biden.
Sebagaimana dimaklumi, pada 4 Januri 2020, Biden mengatakan bahwa di bawah pemerintahannya, AS tidak akan mendukung lagi perang di Yaman yang dilakukan Arab Saudi bersama negara-negara koalisinya.
"Perang di Yaman harus diakhiri," kata Joe Biden, sebagaimana dikutip bbc.com, Selasa (5/1/2021).
Bahkan, AS mencabut label kelompok teroris terhadap kelompok Houthi, Selasa (16/2/2021), yang berkuasa di Yaman dan berperang dengan Arab Saudi beserta koalisinya.
Secara diplomatis, Arab Saudi tentu menyambut baik keputusan pemerintahan baru AS di atas terlebih lagi ditekankan bahwa negara adidaya itu akan tetap mendukung Arab Saudi dari serangan musuh-musuhnya.
Namun, alih-alih menyenangkan, secara lebih terbuka, keputusan pemerintahan baru AS di atas hampir pasti akan dipahami sebagai “langkah mundur” yang sangat signifikan bagi Arab Saudi mengingat status Arab Saudi yang selama ini menjadi sekutu AS dan hampir memberikan segalanya kepada “Negeri Paman Sam”.
Terlebih khusus lagi bila dilihat dari hubungan Arab Saudi-AS dalam pemerintahan Trump yang acap memanjakan “hasrat perang” negara kaya minyak itu, khususnya dalam menghadapi Iran dan pendukung-pendukungnya.
Dari semua “serangan” yang dilakukan AS terhadap Arab Saudi (termasuk persoalan serangan 11 September 2001), kasus pembunuhan Jamal Khashoggi tampaknya menjadi pertarungan yang harus dimenangi Arab Saudi.
Itu sebabnya Arab Saudi melakukan perlawanan total atas laporan intelijen AS yang menuduh MBS berada di balik pembunuhan Jamal Khashoggi.
Dari tiga kartu politik yang dimiliki, tampaknya kartu “negara-negara Arab” dan kartu “dunia Islam” sudah dimainkan Arab Saudi.
Dalam beberapa waktu ke depan, sangat besar kemungkinan Arab Saudi juga akan menggunakan kartu politik negara-negara Arab Teluk hingga Arab Saudi bisa memenangi pertarungan yang ada.
Ini pertaruhan sekaligus pertarungan mati hidup bagi Arab Saudi, khususnya MBS sebagai Putra Mahkota yang akan menggantikan Raja Salman.
Bila gagal memenangi pertarungan ini, Arab Saudi berpotensi mengalami krisis politik internal yang sangat dalam, yaitu krisis terkait dengan pengganti Raja Salman.
MBS dan Raja Salman sudah pasti tidak menghendaki ini terjadi.
Bahkan, AS pun belum tentu menginginkan hal ini juga terjadi mengingat strategisnya hubungan antara AS dan Arab Saudi selama ini. (Hasibullah Satrawi, Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam)-dhn
Artikel ini sudah tayang di mediaindonesia.com dengan judul “Pertaruhan Arab Saudi”. Klik untuk baca: https://mediaindonesia.com/opini/431653/pertaruhan-arab-saudi.