Oleh ANINDITA S THAYF
Baca Juga:
Jokowi dan Suara Parpol soal Amandemen UUD
JELAS ada yang berbeda dari suasana tujuh belas Agustus tahun ini jika dibandingkan tahun-tahun sebelum pandemi.
Perbedaan yang seolah hendak bersembunyi di balik kibaran penuh semangat bendera merah putih dan barisan umbul-umbul meriah yang menghiasi tepi jalan, tapi gagal.
Baca Juga:
Meretas Heroisme Cut Nyak Dhien lewat Mahakarya Eros Djarot
Siapapun bisa menemukannya pada wajah orang-orang yang berlalu-lalang.
Wajah-wajah yang tertutupi masker.
Pandemi dan Revolusi Jiwa
Pandemi memaksa banyak hal berubah, termasuk perayaan hari kemerdekaan Indonesia.
Masih jelas dalam benak setiap warga negeri ini betapa tanggal tujuh belas Agustus adalah salah satu tanggal yang dinantikan kedatangannya dalam setahun.
Tanggal sakral yang mampu membuat semua orang dipenuhi semangat bahkan sejak jauh-jauh hari.
Semangat kemerdekaan yang tersalurkan lewat rutinitas tahunan setiap kompleks perumahan, kelurahan, Rukun Tetangga, hingga kampung-kampung, baik di kota maupun daerah terpencil: lomba agustusan.
Sayangnya, badai pandemi yang belum surut membuyarkan semua rencana lomba, bahkan angan memenangkan wajan pada lomba panjat pinang.
Wajah-wajah kurang bersemangat itu terlihat jelas di kampung saya.
Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk wilayah Jawa dan Bali yang diperpanjang berkali-kali membuat warga kampung saya kian tidak bersemangat.
Tidak ada obrolan riuh seperti yang biasa terdengar saat para warga bergotong royong memasang bendera dan umbul-umbul.
Orang-orang dewasa bahkan seolah bersepakat untuk bersikap sama di hadapan anak-anak mereka yang tiada henti bertanya tentang jadwal lomba agustusan.
Semuanya satu suara menyalahkan Covid-19 yang entah kapan bakal hengkang dari negeri ini, sebelum menyuruh anak-anak itu tutup mulut, melupakan soal lomba.
Namun siapa sangka, sikap pesimis yang ditunjukkan orang-orang dewasa ini justru memunculkan reaksi yang berbeda dari anak-anak mereka.
Dalam keterangan penutup untuk novelnya, Di Tepi Kali Bekasi, Pramoedya Ananta Toer menyebutkan bahwa pertempuran melawan penjajah pada masa revolusi merupakan "epos tentang revolusi jiwa --dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka."
Dengan berbekal senjata seadanya, termasuk bambu runcing, dan tanpa pendidikan kemiliteran, para pemudi dan pemuda pada zaman itu berjuang untuk melepaskan diri dari jiwa jajahan demi menjadi jiwa merdeka.
Kini, anak-anaklah yang berusaha membangkitkan kembali revolusi jiwa tersebut demi melepaskan diri dari jiwa "terjajah" Covid-19.
Mitos sebagai Media Perlawanan
Dalam situasi yang berbeda dari masa revolusi kemerdekaan, anak-anak di kampung saya menunjukkan semangat kemerdekaan yang nyaris serupa dengan para pendahulu mereka.
Di tengah keterbatasan pengalaman dan usianya, anak-anak itu telah mampu menyadari bahwa apa yang terjadi di sekitar mereka pada hari ini adalah sebuah kondisi yang harus dilawan.
Ibarat sebuah "pernyataan perang" terhadap sesuatu yang menyebabkan mereka tidak bisa bersekolah seperti biasa dan mesti terkurung dalam rumah selama berbulan-bulan, mereka pun beramai-ramai membuat apa yang disebut Tulang Bongkok sejak minggu pertama bulan Agustus.
Tujuannya jelas hanya satu, yaitu untuk mengusir musuh terbesar mereka saat ini: Covid-19.
Tulang Bongkok merupakan bagian dari mitos yang berkembang di kampung-kampung sekitar daerah tempat tinggal saya sejak zaman dulu.
Ia serupa sosok mistis pengusir bala yang terbuat dari tulang pelepah kelapa kering yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai manusia.
Sebagaimana disampaikan Erich Fromm (2020), mitos merupakan ekspresi pemikiran-pemikiran filosofis yang menawarkan kisah-kisah yang terjadi di lingkup ruang dan waktu tertentu.
Kisah tersebut ditampilkan lewat bahasa simbolis, dalam hal ini Tulang Bongkok, yang mempunyai signifikasi tertentu.
Di kampung saya, mitos Tulang Bongkok diwariskan secara lisan oleh setiap orang tua kepada anak-anaknya; kakek dan nenek kepada cucu-cucu mereka.
Mitos ini kerap dikaitkan dengan musibah atau kejadian yang mendatangkan bala bagi seluruh warga kampung, misalnya wabah penyakit atau pageblug.
Dalam situasi demikian, kehadiran Tulang Bongkok diyakini sanggup menghalau bala yang tengah bercokol di kampung tersebut.
Itulah mengapa sosok Tulang Bongkok kerap hadir dengan wajah seram menyeringai dalam upayanya untuk mengusir kekuatan jahat atau energi negatif yang mengancam seisi kampung, sekaligus menakut-nakutinya agar tidak kembali lagi.
Terlepas dari apakah Tulang Bongkok mampu melaksanakan tugasnya dengan baik atau tidak, yang pasti mitos ini sanggup bertahan melewati tahun demi tahun, generasi demi generasi, hingga tiba saatnya pandemi Covid-19 mengobrak-abrik negeri ini.
Di mata anak-anak, Tulang Bongkok ibarat jagoan pengusir pageblug.
Dengan penuh keyakinan pada mitos yang ada, mereka menciptakan Tulang Bongkok dari pelepah kelapa kering terbaik, setelah sebelumnya membuang semua sisa daun yang ada dan meraut tepian tulang pelepahnya dengan hati-hati.
Agar tampak hidup, mereka lantas menggambar sepasang mata, hidung dan mulut pada bagian terbesar pelepah kelapa yang kelak dijadikan bagian kepala dengan menggunakan cat atau arang.
Selanjutnya, mereka membuatkannya sepasang tangan dan kaki penyangga entah dari potongan dahan, pipa bekas atau gagang sapu.
Sebagai sentuhan terakhir, anak-anak itu tidak lupa memberi Tulang Bongkok pakaian lengkap, ikat kepala, helm, masker, hingga senjata mainan yang tergantung di dada.
Beberapa anak dengan imajinasi tinggi bahkan berusaha menghadirkan jagoan kartun idolanya lewat Tulang Bongkok, seperti tokoh Naruto.
Di akhir susah payah itu, dengan penuh semangat, anak-anak kampung saya kemudian memasang Tulang Bongkok buatan masing-masing di depan rumah mereka atau di tepi jalan kampung.
Seorang peneliti sosial asal Australia, Mark McCrindle, menamakan anak-anak ini sebagai Generasi Alfa.
Anak-anak kelahiran tahun 2010 ke atas yang dikabarkan terikat dengan teknologi dan memiliki karakter yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya sehingga harus dididik secara khusus.
Bocah-bocah usia Sekolah Dasar yang sejak dua tahun terakhir mesti tersapih dari lingkungan sekolah mereka dan lingkungan pergaulan yang lebih luas, dan tentu saja masih sangat kekanak-kanakan, secara tidak terduga mampu menumbuhkan sikap positif tertentu lewat tempaan kondisi yang ada.
Kendati lebih suka bermain dan menghabiskan sebagian besar waktu di depan ponsel, anak-anak ini ternyata tidak benar-benar tercerabut dari lingkungan sekitarnya.
Kepedulian sosial mereka terbukti tidak berkurang, begitu pula rasa senasib sepenanggungan dalam menghadapi pandemi.
Lewat Tulang Bongkok yang dipasang berjejer dengan umbul-umbul dan bendera merah putih, anak-anak kampung saya seolah hendak menunjukkan cara yang tepat untuk merayakan kemerdekaan Indonesia pada tahun ini.
Yaitu, dengan menengok kembali pada apa yang mungkin telah kita punggungi tanpa sengaja: nilai-nilai luhur kearifan lokal yang menawarkan harapan dan kekuatan baru bagi warganya agar tidak mudah menyerah melawan pageblug.
Sikap anak-anak itu juga seolah hendak menyiratkan pesan betapa mereka paham besarnya tanggung jawab yang ada di pundak mereka, baik sebagai warga negara maupun penerus bangsa.
Bahwa kemerdekaan hari ini harus bisa dipertahankan dan terus diperjuangkan sebagaimana tersirat dalam lirik lagu perjuangan, Hari Merdeka, "Sekali merdeka tetap merdeka, selama hayat masih dikandung badan."
Inilah anak-anak yang siap mengantar Indonesia menuju masa depan yang lebih baik sebagai bangsa yang lebih kuat, sehat, dan merdeka. (Anindita S Thayf, Novelis dan Esais)-dhn
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Si Tulang Bongkok dan Semangat Kemerdekaan". Klik untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/29/si-tulang-bongkok-dan-semangat-kemerdekaan/.