Penting untuk dicatat, rezim Taliban bukan hanya melakukan genosida atas manusia tetapi juga atas produk-produk spiritual-kebudayaan mereka (oleh Raphael Lemkin disebut cultural genocide) seperti aneka ragam karya seni, monumen bersejarah, peninggalan kepurbakalaan, atau bahkan bangunan tempat peribadatan karena dicap kafir-sesat, berpotensi menyekutukan Tuhan, tidak religius, atau dianggap menodai kemurnian akidah dan ajaran fundamental Islam yang mereka pegang dan yakini.
Selama berkuasa, rezim Taliban mengunci atau menggembok Afghanistan dari dunia luar.
Baca Juga:
Taliban: Tugas Wanita Itu Melahirkan, Bukan Jadi Menteri
Mereka juga menolak bantuan makanan PBB untuk jutaan warga yang kelaparan.
Mereka melarang media dan berbagai aktivitas publik yang dianggap berpotensi mengganggu kekuasaan.
Berbagai aktivitas seni-budaya diharamkan termasuk musik, fotografi, lukisan, film, tarian, dan sebagainya.
Baca Juga:
Taliban Izinkan Perempuan Afghanistan Kuliah, Tapi…
Kaum perempuan jadi obyek paling mengenaskan.
Mereka harus berpakaian tertutup rapat dari ujung kaki hingga ujung kepala, tak boleh pergi ke tempat umum sendirian tanpa ditemani muhrim (biasanya anggota keluarga), dilarang bekerja di sektor publik (kecuali dokter atau perawat untuk melayani pasien perempuan karena petugas medis laki-laki tak boleh menangani pasien perempuan), anak perempuan dilarang sekolah.
Dan masih banyak lagi kisah pilu mereka.