WAHANANEWS.CO, Jakarta - Korea Selatan kini tengah mengukir babak baru dalam strategi pertahanannya, bukan lagi dengan kekuatan otot konvensional, tetapi dengan dominasi kecerdasan buatan dan teknologi nirawak.
Dalam revisi besar-besaran terhadap rencana pertahanan masa depan, Seoul memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana pembelian jet tempur F-35B dari Amerika Serikat.
Baca Juga:
Jepang Impor Beras dari Korsel Akibat Lonjakan Harga Domestik
Sebagai gantinya, Negeri Ginseng berfokus membangun kapal induk ringan yang akan dilengkapi dengan armada drone tempur buatan dalam negeri.
Langkah ini menandai pergeseran signifikan dalam doktrin militer Korea Selatan, dari ketergantungan pada sistem tempur tradisional menuju ekosistem pertahanan yang berbasis teknologi tinggi dan otomatisasi.
Pakar militer dan teknologi pertahanan dari Seoul National University, Prof. Kim Jae-Hoon, menyatakan bahwa keputusan ini bukan sekadar penghematan anggaran, tetapi transformasi paradigma.
Baca Juga:
Imbas Darurat Militer, Yoon Suk Yeol Diberhentikan
“Penggunaan drone bukan hanya soal efisiensi biaya, tetapi juga tentang superioritas data dan fleksibilitas di medan perang modern. Dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, pertempuran udara akan didominasi oleh sistem otonom yang bisa bergerak cepat, berbagi informasi secara real-time, dan tidak mempertaruhkan nyawa pilot manusia,” kata Kim.
Faktor biaya memang menjadi bagian penting dalam keputusan ini. Jet tempur siluman F-35B, yang dirancang untuk lepas landas dan mendarat vertikal di kapal induk, memerlukan investasi besar tidak hanya dalam pembelian tetapi juga pemeliharaan jangka panjang.
Namun, lebih dari itu, keinginan untuk meningkatkan kemandirian teknologi menjadi pemicu utama.
Surat kabar Chosun Ilbo melaporkan bahwa strategi pertahanan terbaru ini secara eksplisit mencerminkan dorongan kuat Korea Selatan untuk mencapai otonomi teknologi militer.
Dalam beberapa tahun terakhir, Seoul telah meningkatkan investasi dalam kecerdasan buatan, sistem drone tempur, dan integrasi sensor-senjata berbasis jaringan.
Dengan menggandeng perusahaan teknologi pertahanan lokal seperti Hanwha Systems dan Korea Aerospace Industries (KAI), pemerintah Korea Selatan menciptakan ekosistem inovasi yang bisa mempercepat pengembangan drone generasi baru, mulai dari UAV pengintai bersenjata hingga drone tempur berkecepatan tinggi yang mampu beroperasi dalam formasi swarm.
Menurut analis teknologi militer Lee Sang-woo, strategi ini membuka kemungkinan “perang digital” di masa depan, di mana informasi, konektivitas, dan kecerdasan buatan menjadi senjata utama.
“Kapal induk ringan yang diisi drone bukanlah kapal induk dalam arti klasik. Ia akan menjadi ‘platform digital terapung’ yang dapat mengelola lusinan kendaraan udara nirawak, mengumpulkan data intelijen, dan merespons secara otomatis. Ini bukan hanya inovasi, tapi revolusi dalam cara kita memahami kekuatan laut dan udara,” jelas Lee.
Keputusan Korea Selatan ini juga menandai tren global yang semakin menjauhi sistem senjata berat dan mahal, menuju solusi yang ringan, modular, dan didukung perangkat lunak canggih.
Meski Amerika Serikat masih menjadi pemimpin pasar dalam jet tempur siluman, negara-negara seperti Korea Selatan tampaknya ingin menentukan arah permainannya sendiri,dengan kecepatan, efisiensi, dan keunggulan teknologi sebagai porosnya.
Korea Selatan tidak sekadar membangun pertahanan, melainkan menciptakan ekosistem militer masa depan yang cerdas dan adaptif.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]