WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kasus eksekusi terpidana Silfester Matutina kembali memicu sorotan publik setelah enam tahun berlalu tanpa kejelasan penahanan, meski putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap sejak 2019.
Silfester, yang juga Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) dan relawan Jokowi, resmi mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) terkait kasus fitnah terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla.
Baca Juga:
Putusan MA 2019 Dijalankan, Kejaksaan Eksekusi Silfester Matutina
Silfester sebelumnya divonis satu tahun enam bulan penjara dan putusan itu sudah inkrah, namun selama enam tahun Kejaksaan tidak kunjung mengeksekusi.
Roy Suryo dan sejumlah pihak kembali mengangkat isu ini ke publik, memicu pertanyaan terkait kinerja dan integritas aparat penegak hukum.
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Rio Barten membenarkan bahwa permohonan PK sudah didaftarkan pada 5 Agustus 2025 dan sidang perdana akan digelar pada 20 Agustus 2025.
Baca Juga:
Mahkamah Agung Batalkan PK, Antam Menang Sengketa 1,1 Ton Emas Lawan Budi Said
"Betul, sudah mendaftarkan PK," ujar Rio, dikutip Selasa (12/8/2025).
"Telah dijadwalkan Sidang pemeriksaan PK pada tanggal 20 Agustus 2025," tambahnya.
Permohonan PK diajukan ke pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara, untuk kemudian diteruskan ke Mahkamah Agung guna diproses.
Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna menegaskan pengajuan PK tidak menunda eksekusi.
"Pada prinsipnya PK tak menunda proses eksekusi," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan akan segera melakukan eksekusi terhadap Silfester.
"Terkait Silfester kan ini sudah inkrah perkaranya dan menjadi kewenangan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan selaku jaksa eksekutornya," kata Anang.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 287 K/Pid/2019 yang dibacakan 20 Mei 2019, Silfester dinyatakan bersalah melanggar Pasal 311 Ayat 1 KUHP dan Pasal 310 Ayat 1 KUHP terkait fitnah dan pencemaran nama baik terhadap Jusuf Kalla.
Namun hingga kini eksekusi belum dilaksanakan.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD menyebut kejaksaan telah melindungi Silfester, meski JK telah memaafkan.
"Damai itu urusan pribadi, kalau orang terpidana itu musuhnya adalah negara," kata Mahfud.
Menurut Mahfud, negara diwakili oleh kejaksaan sehingga pihak itulah yang bertanggung jawab melaksanakan eksekusi.
"Kalau ditanyakan siapa yang melindungi? Saya menyalahkan kejaksaan," tegasnya.
Mahfud juga menilai penangkapan seharusnya dilakukan tanpa pemanggilan ulang mengingat putusan telah berusia enam tahun.
"Orang ini sudah 6 tahun lolos," ujarnya.
Ia menduga ada kemungkinan perlindungan sengaja yang melibatkan atasan atau suap.
"Kalau betul-betul melindungi secara sengaja pasti ada yang menyuruh, kemungkinannya ada atasan yang membacking, kemungkinannya suap," kata Mahfud.
Ia mendorong penyelidikan internal kejaksaan untuk mencari tahu pihak yang memerintahkan penundaan eksekusi.
"Siapa pejabatnya, kenapa ini tidak segera dieksekusi, nanti akan ketemu siapa yang memesan," ujarnya.
Mahfud menegaskan Silfester harus dijemput paksa.
"Tangkap dulu, atau jebloskan dulu ini eksekusi si Matutina ini," katanya.
Ia juga menekankan Kejaksaan Agung wajib memberi penjelasan kepada publik setelah melakukan penyelidikan internal.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]