WahanaNews.co, Jakarta - Mantan Menko Politik, Hukum, dan Keamanan, Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, menyebut bahwa alasan hukum untuk menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka dalam kasus pengadaan Chromebook sudah terpenuhi. Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah diskusi yang disiarkan melalui kanal YouTube Leon Hartono.
Mahfud mengatakan bahwa secara yuridis-formal, bukti awal terhadap Nadiem sudah cukup untuk diajukan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Meski dia menekankan: “terpenuhi bukan berarti dia mengambil keuntungan dari situ.”
Baca Juga:
KPK Ungkap Aliran Dana Kuota Haji Mengalir Hingga ke Menteri Agama
Mahfud menilai bahwa Nadiem yang dikenal sebagai praktisi swasta kurang memahami mekanisme birokrasi pemerintahan. Dalam pernyataannya, Mahfud mengatakan bahwa Nadiem sering menginginkan segala sesuatu dilakukan dengan cepat, tanpa menelusuri prosedur yang semestinya diikuti oleh institusi pemerintahan.
Beberapa bukti yang disebutkan Mahfud antara lain:
- adanya pengadaan barang yang diduga merugikan keuangan negara, dengan perhitungan kerugian awal oleh Kejaksaan Agung.
- pelanggaran prosedur pengadaan barang, termasuk diduga adanya tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan pengadaan dari sisi formal dan administratif.
Walau menilai bahwa Nadiem secara pribadi adalah sosok yang bersih, Mahfud tetap menyebut ada kekurangan signifikan dari sisi pemahaman terhadap birokrasi pemerintahan. Contoh konkret yang disebut adalah mengenai interaksi dan penggunaan kantor resmi, di mana Mahfud menyebut bahwa Nadiem terkadang tidak “ngantor” di kantor melainkan bertemu di hotel.
Baca Juga:
Kejati Sumut Tahan 4 Tersangka Baru Kasus Korupsi Proyek Jalan di Batubara
Sebelumnya, Nadiem Makarim ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung RI dalam kasus pengadaan Chromebook. Proyek tersebut—pengadaan Chromebook sebanyak 1,2 juta unit untuk sekolah terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar)—menggunakan anggaran triliunan rupiah.
Ada tuduhan bahwa penggunaan Chromebook kurang sesuai dengan kebutuhan daerah dan ada ketidaksesuaian prosedur serta potensi kerugian negara sampai sekitar Rp 1,98 triliun.
Penetapan tersangka terhadap Nadiem ini memicu perdebatan publik, terutama di kalangan pemerhati hukum dan pendidikan. Pihak pendukung menanyakan aspek-aspek pembelaan seperti niat (mens rea), transparansi pengadaan, dan apakah ada itikad untuk mempercepat layanan pendidikan di daerah 3T.
Di sisi lain, kritik terhadap metode kepemimpinan dan birokrasi kembali menjadi sorotan, terutama terkait bagaimana seorang praktisi swasta yang kurang pengalaman dalam birokrasi bertanggung jawab atas kebijakan yang melibatkan prosedur pemerintah yang kompleks.
Mahfud MD juga menegaskan bahwa dari perspektif hukum formal, unsur-unsur yang diperlukan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka seperti bukti awal, indikasi kerugian negara, serta pelanggaran prosedur untuk kasus Nadiem telah terpenuhi. Namun, dia juga menekankan bahwa “terpenuhi” tidak sama dengan “terbukti bersalah” atau “mengambil keuntungan”, melainkan bahwa secara hukum perkara ini sudah layak dilanjutkan ke pengadilan.
[Redaktur: Alpredo]