WahanaNews.co | Jaksa Agung ST Burhanuddin “menyerang” balik sejumlah aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang menolak aturan pidana hukuman mati bagi kasus kejahatan luar biasa (extraordinary crime) khususnya korupsi.
Burhanuddin mempertanyakan, bila hukuman mati untuk koruptor dihapuskan, apakah kasus korupsi dapat berkurang?
Baca Juga:
Jaksa Agung Sebut Lebih 70 Persen Mayoritas Kejahatan Terjadi di Wilayah Laut
"Pandangan yang menghendaki 'dihapuskannya sanksi hukuman mati dengan argumentasi bahwa adanya sanksi pidana mati tidak menurunkan kuantitas kejahatan'. Atas pernyataan tersebut, akan saya jawab dengan pertanyaan berupa, 'Apabila sanksi pidana mati untuk koruptor dihapuskan, apakah lantas akan menjadi penurunan kuantitas tindak pidana korupsi?" tanya Burhanuddin dalam webinar yang digelar Unsoed secara virtual, Kamis (18/11/2021).
Hal itu justru dipertanyakan Burhanuddin karena kasus korupsi belum menunjukkan adanya penurunan.
Ia menilai justru hukuman pidana korupsi yang diperberat dengan ancaman sanksi pidana mati menjadi salah satu upaya pemberantasan korupsi.
Baca Juga:
Panggil 'Papa', Kejagung Klarifikasi Kedekatan Celine Evangelista dengan ST Burhanuddin
"Mengingat perkara korupsi belum ada tanda-tanda hilang, dan justru semakin meningkat kuantitasnya, maka sudah sepatutnya kita melakukan terobosan hukum sebagai bentuk ikhtiar dari pemberantasan tipikor," ujarnya.
Kemudian Burhanuddin menjawab pandangan aktivis HAM yang menolak hukuman mati dengan dalih 'hak hidup mutlak oleh Tuhan tidak bisa dicabut oleh siapa pun'.
Menurut Burhanuddin, pendapat tersebut tidak bisa diterima begitu saja karena hukuman mati masih diatur di konstitusi.
"Para aktivis HAM ini tentu mendapat dukungan dari dunia internasional yang terus mendorong setiap negara untuk menghapus regulasi hukuman mati. Mereka senantiasa berdalih jika hak hidup merupakan hak mutlak yang tidak bisa dicabut oleh siapa pun kecuali oleh Tuhan," kata Burhanuddin.
"Penolakan para aktivis HAM ini tentunya tidak bisa kita terima begitu saja, sepanjang konstitusi, pemberian ruang yuridis dan kejahatan secara nyata sangat merugikan negara. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerapkan hukuman mati," ujarnya.
Burhanuddin mengatakan sejatinya eksistensi hak asasi juga harus dijalankan dengan kewajiban menghormati hak asasi orang lain dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal tersebut diatur dalam UUD 1945 Pasal 28. Menurut Burhanuddin, jika ada pihak yang melanggar hukum, negara dapat mencabut HAM seseorang.
"Kemudian pasal penutup HAM, yaitu dalam Pasal 28 ayat 2 UUD 1945, menegaskan HAM dapat dibatasi dan bersifat tidak mutlak. Negara dapat mencabut HAM setiap orang apabila orang tersebut melanggar UU," ujarnya.
"Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 tersebut, penjatuhan sanksi pidana mati untuk koruptor yang selama ini terhalangi oleh persoalan HAM dapat dilegalkan," ungkapnya.
Lebih lanjut Burhanuddin berbicara tentang isu hak hidup tentang bagaimana cara hidup atau matinya seseorang.
Ia berpendapat Tuhan memberikan pilihan dan kebebasan manusia untuk memilih bagaimana cara kehidupan dan matinya.
Menurutnya, jika manusia itu berbuat kejahatan, ia menilai manusia tersebut memilih jalan mati dalam keadaan buruk.
"Setiap yang bernyawa pasti akan mati, tetapi cara memilih kematian, apakah mati dalam keadaan baik atau mati dalam keadaan buruk, manusialah yang memilih. Jika manusia menginginkan mati dalam keadaan baik, sudah seyogianya ia tidak melakukan suatu kejahatan. Dengan kata lain, apabila manusia dalam hidupnya melakukan kejahatan, sesungguhnya ia telah memilih jalan untuk mati dalam keadaan yang buruk," ujarnya.
KontraS-ICJR Minta Pertimbangkan Pidana Mati
Sebelumnya, Memperingati Hari Antihukuman Mati, LSM pembela hak asasi manusia, Kontras, LBH Masyarakat, dan ICJR, meminta pemerintah segera melakukan moratorium pidana mati. Sebab, hukuman mati dianggap tidak berperikemanusiaan.
"Posisi kami sama seperti teman-teman Kontras dan LBH Masyarakat, bahwa kami menolak adanya pidana mati di Indonesia. Dalam kondisi itu, kami menyerukan agar pemerintah, DPR, MA, kejaksaan segera melakukan moratorium untuk pidana mati di Indonesia, khususnya ketika kita masih dalam masa pandemi," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Abraham Todo Napitupulu dalam webinar bertajuk 'Hari Anti Hukuman Mati 2020 Permasalahan Hidup dan Mati', Sabtu (10/10/2020).
Dia mengatakan, pada masa pandemi Corona, tercatat adanya peningkatan kasus dan terdakwa yang divonis pidana mati dibandingkan tahun lalu.
ICJR mencatat, pada 27 Maret hingga 9 Oktober 2019, ada 48 kasus dan 51 terdakwa yang dijatuhi vonis pidana mati.
Sementara itu, pada periode yang sama 2020, meningkat kasus yang dijatuhi pidana mati sebanyak 87 dan ada 106 terdakwa yang dijatuhi vonis pidana mati.
"Tahun lalu angkanya sudah tinggi, tapi meningkat drastis hampir 50 persen dengan terdakwa yang lebih dari 50 persen pada tahun berikutnya. Pandemi ini mengakibatkan ada gairah dari hakim untuk menjatuhkan pidana mati," katanya.
"Pada masa pandemi, ada tuntutan pidana mati yang tidak dikabulkan hakim, ada 40, tapi yang tidak dituntut jaksa tapi hakim berinisiatif menjatuhkan pidana mati 7 orang," sambungnya.
Sementara itu, Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti mengatakan Indonesia harus mengikuti negara lain yang melakukan moratorium pidana mati. Ia menyebut hukuman pidana mati belum tentu memberikan efek jera.
"Dalam catatan Kontras, dari hasil pendampingan kami, terdapat pola tertentu terhadap akses pendampingan hukum bagi pidana mati di mana mereka tidak diberi akses yang layak untuk pendampingan hukum dan mereka kerap kali menjadi korban peradilan yang tidak adil dan juga mendapatkan perlakuan penyiksaan," kata Fatia.
"Maka dari itu, hukuman mati menjadi salah satu hal fundamental dari fokus kerja Kontras agar Indonesia juga segera terus mendorong menuju moratorium hukuman mati di Indonesia, yang di mana hukuman ini sangat primitif dan negara Indonesia juga harus mengikuti tren global menuju penghapusan hukuman mati dalam rangka kemajuan hak asasi manusia karena hukuman mati jelas-jelas melanggar hak hidup yang merupakan hak paling fundamental dari manusia," katanya.