WahanaNews.co | Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Demokrat saling sindir.
Penyebabnya adalah adanya aksi saling membandingkan kinerja pemerintahan antara pemerintahan Presiden Joko Widodo dan pemerintahan sebelumnya, yang dimulai oleh Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Baca Juga:
Tanggapi Pesimisme Surya Paloh, PDI-P Ingatkan Potensi Kejutan Politik Anies
Kendati Hasto tidak menyebut siapa pemerintahan yang dimaksud, namun pihak Partai Demokrat berkeyakinan bahwa sindiran itu ditujukan kepada pemerintahan Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pasalnya, Hasto menyebut pemerintahan yang dimaksud adalah pemerintahan 10 tahun sebelum era Jokowi.
Diketahui, sebelum Jokowi memimpin, SBY telah memimpin Indonesia selama dua periode atau 10 tahun.
Baca Juga:
Babinsa Koramil 420-07/Sungai Manau Kodim 0420 Sarko Jambi Lakukan Patroli Karhutla Dan Sosialisasi Di Wilayah Binaan
Dalam keterangan tertulisnya, Hasto memuji kepemimpinan Jokowi dalam penanganan Covid-19 yang dinilainya berbeda dari pemerintahan sebelumnya.
"Beliau adalah sosok yang turun ke bawah, yang terus memberikan direction, mengadakan ratas (rapat kabinet terbatas) dan kemudian diambil keputusan di rapat kabinet terbatas. Berbeda dengan pemerintahan 10 tahun sebelumnya, terlalu banyak rapat tidak mengambil keputusan," kata Hasto, dalam siaran pers, Kamis (21/10/2021).
Hasto berpandangan, Presiden Jokowi selalu mengambil keputusan setiap mengadakan rapat.
Adapun keputusan itu dinilai dapat dijabarkan dalam perspektif koordinasi antara pusat dan daerah.
Demokrat Sebut Hasto Salah Sasaran
Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, berpendapat, Hasto salah sasaran jika menilai SBY tak mengambil keputusan meski banyak mengadakan rapat di era pemerintahannya.
Prasangka Hasto, menurut dia, tidak tepat.
Sebab, berdasarkan keterangan Jusuf Kalla (JK), yang merupakan Wakil Presiden pemerintahan SBY, justru mengatakan hal sebaliknya.
"Entahlah jika itu dimaksudkan kepada Presiden terdahulu sebelum Pak SBY," kata Kamhar, dalam keterangannya, Jumat (22/10/2021).
"Merujuk pada testimoni Pak JK (Kalla) yang pernah menjadi Wakil Presiden Pak SBY dan juga pernah menjadi Wapres Pak Jokowi bahwa di zaman SBY lebih ringkas, lebih terarah, dan lebih cepat dalam mengambil keputusan," tambah dia.
Klaim Kerja Cepat SBY
Selain itu, Kamhar mengklaim, SBY justru lebih efektif dan cepat dalam pengambilan keputusan.
Menurut dia, hal ini karena rekam jejak SBY sudah terbiasa terlatih menjadi pemimpin, termasuk ketika menjadi Taruna di Akademi Militer Magelang.
"Saat bertugas di militer pun Pak SBY memiliki pengalaman kepemimpinan yang komplit, mulai dari operasi militer, memimpin teritorial sebagai Danrem sampai Pangdam," ujarnya.
Kamhar juga mengaitkan kinerja cepat SBY itu karena memiliki latar belakang pendidikan di Master of Art dari Management Webster University AS dan Doktor dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Atas penilaian-penilaian itu, Kamhar menilai SBY memiliki kepemimpinan, kemampuan pengambilan keputusan, kecepatan dan kualitas keputusan di atas rata-rata.
Beasiswa Bandingkan Kinerja Jokowi-SBY
Balas sindiran Kamhar, Hasto menawarkan beasiswa untuk pihak yang mau melakukan kajian terkait perbandingan kinerja pemerintah SBY dan Presiden Jokowi.
“Saya pribadi menawarkan beasiswa bagi mereka yang akan melakukan kajian untuk membandingkan antara kinerja dari Presiden Jokowi dengan Presiden SBY,” terang Hasto, saat ditemui wartawan di Kantor DPP PDI-P, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (23/10/2021).
Tawaran itu tak lepas dari pemikiran Hasto yang menyebut, kajian akademis adalah hal yang paling objektif untuk mengukur capaian kinerja pemerintah.
“Bagaimana jumlah jembatan yang dibangun antara 10 tahun Pak SBY dengan Pak Jokowi saat ini saja. Jumlah pelabuhan, jalan tol, lahan-lahan pertanian untuk rakyat, bendungan-bendungan untuk rakyat, itu kan bisa dilakukan penelitian yang objektif,” jelasnya.
Tuding Kecurangan Pemilu 2009
Masih dari Sekjen PDI-P itu, Hasto menuding adanya berbagai kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2009.
Salah satunya adalah perekrutan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk masuk ke sejumlah partai politik guna mengamankan suara penguasa.
“Kemudian aspek kualitatifnya, bagaimana penyelenggaraan Pemilu. pada 2009 itu kan kecurangannya masif dan ada tokoh-tokoh KPU yang direkrut masuk ke parpol hanya untuk memberikan dukungan elektoral penguasa. Ada manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan sebagainya,” tutur dia.
Hasto Disebut Gagal Move On dari Kekalahan 2009
Terkini, Partai Demokrat kembali menanggapi pernyataan Hasto soal tudingan kecurangan Pemilu 2009 dan tawaran beasiswa untuk membandingkan kinerja pemerintah Jokowi dan SBY.
Kamhar menilai, Hasto gagal move on untuk menerima kenyataan bahwa pasangan calon (paslon) yang diusung partainya kalah telak saat Pilpres 2009.
Sehingga, Kamhar berpandangan bahwa Hasto kemudian mengungkit persoalan Pemilu 2009 dengan menyebut adanya berbagai kecurangan dalam penyelenggaraannya.
"Hasto kembali mengalihkan topik dari polemik tentang pengambilan keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan presiden pendahulunya ke persoalan Pemilu 2009," kata Kamhar dalam keterangannya, Minggu (24/10/2021).
Kamhar berpendapat, pernyataan Hasto tidak tepat jika menuding Pemilu 2009 diwarnai aksi curang.
Ia menjelaskan, kontestasi Pilpres 2009 justru diikuti 2 incumbent.
Saat itu, diketahui bahwa SBY maju berpasangan dengan Boediono sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres).
Sementara, JK yang adalah Wakil Presiden SBY saat itu juga maju berpasangan dengan Wiranto.
"Jadi tak mungkin menggunakan pendekatan kekuasaan," imbuh dia.
Demokrat Sebut Hasto Terpapar Virus Ngawur
Kamhar juga mengatakan, sejumlah tanggapan Hasto beberapa waktu belakangan justru semakin menunjukkan sisi insecure-nya.
Terlebih, Kamhar juga menyebut Hasto sedang terpapar virus ngawur atas sejumlah sindiran terhadap pemerintahan sebelum Jokowi.
"Menawarkan pendekatan berbasis riset dan analisis untuk studi komparasi antara capaian pemerintahan SBY versus pemerintahan Jokowi agar lebih objektif melalui beasiswa yang disiapkannya secara pribadi. Ini senyatanya conflict of interest yang sejak dari niat sudah cacat," nilai Kamhar.
Dia menyarankan Hasto memperbaiki diri sebagai Sekjen PDI-P.
Dia meminta Hasto untuk fokus saja dengan agenda PDI-P.
Menurut Kamhar, hal tersebut jauh lebih baik dilakukan Hasto agar janji-janji kampanye PDI-P jilid 1 dan 2 bisa ditunaikan.
Sebab, ia menilai sejauh ini belum ada janji kampanye PDI-P baik di bidang politik, ekonomi dan hukum yang ditepati atau dilunasi. [qnt]