WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ahli hukum Pemilu dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Titi Anggraini, mengusulkan agar pemilihan presiden, legislatif, dan kepala daerah tidak diselenggarakan di tahun yang sama.
Menurutnya, perlu ada jeda dua tahun antara Pemilu nasional dan Pemilu daerah untuk mengurangi beban penyelenggara dan peserta Pemilu.
Baca Juga:
KPU Kota Gorontalo Gelar Malam Anugerah Pemilihan 2024, Apresiasi Kontribusi Berbagai Pihak
"Pemilu serentak nasional yang memilih DPR, DPD, dan presiden dapat dimulai pada 2029, sedangkan Pemilu serentak lokal yang mencakup DPRD dan kepala daerah baru digelar pada 2031, dengan jeda dua tahun," ujar Titi dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi II DPR RI di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2025).
Ia menambahkan, seleksi serentak penyelenggara Pemilu bisa dilakukan pada 2032.
Titi menilai bahwa penyelenggaraan Pilpres, Pileg, dan Pilkada di tahun yang sama memberikan tekanan besar pada penyelenggara Pemilu serta mengganggu fokus peserta dan masyarakat dalam mengikuti tahapan Pemilu.
Baca Juga:
Poin-Poin Alasan MK Hapus Presidential Threshold dan Dampaknya bagi Demokrasi
"Jika Pilkada digelar bersamaan dengan Pilpres dan Pileg, penyelenggara akan terbebani oleh tahapan yang padat, yang dapat berdampak pada profesionalitas mereka. Selain itu, keserentakan ini juga mengganggu fokus peserta serta orientasi masyarakat terhadap proses demokrasi," jelasnya.
Lebih lanjut, Titi mengusulkan sistem Pemilu campuran sebagai solusi untuk menghindari perdebatan berkepanjangan antara sistem proporsional terbuka dan tertutup.
"Sistem Pemilu campuran bisa menjadi opsi yang tepat, karena di dalamnya terdapat keseimbangan antara hak rakyat untuk memilih langsung calon serta peran partai politik dalam mencalonkan kadernya," ungkapnya.
Ia juga menyarankan agar alokasi kursi legislatif mengikuti putusan MK Nomor 80/PUU-XX/2022, yaitu 50% untuk Pulau Jawa dan 50% untuk luar Pulau Jawa.
Selain itu, ia mengusulkan penerapan zipper system dalam pencalonan legislatif guna meningkatkan keterwakilan perempuan.
"Keterwakilan perempuan minimal 30% harus diperkuat dengan penerapan zipper system, yaitu sistem selang-seling antara caleg laki-laki dan perempuan dalam daftar calon partai," pungkasnya.
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]