WahanaNews.co, Jakarta - Pada Jumat (5/7/2024) kemarin, sidang Praperadilan Pegi Setiawan alias Perong selaku tersangka kasus dugaan pemerkosaan disertai pembunuhan berencana melawan Polda Jawa Barat (Jabar) telah memasuki babak akhir.
Sidang sudah masuk ke agenda kesimpulan. Berikutnya, hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Bandung EmanSulaeman tinggal membacakan putusan.
Baca Juga:
Jessica Wongso Disebut Jaksa Manfaatkan Film Dokumenter Tarik Simpati Publik
Berikut rangkuman dari sidang Praperadilan dilansir dari CNN Indonesia:
Periksa 67 saksi & 4 ahli
Polisi sudah memeriksa sebanyak 67 orang saksi dan empat orang ahli dalam proses penyidikan kasus dugaan pemerkosaan disertai pembunuhan berencana dengan tersangka Pegi.
Baca Juga:
Ratusan Guru Gelar Aksi Solidaritas, Kawal Sidang Perdana Guru SD Konawe
Dalam proses persidangan Praperadilan di PN Bandung, Selasa (2/7), Tim Hukum Polda Jabar meyakini penetapan tersangka terhadap Pegi telah dilakukan berdasarkan kecukupan dua alat bukti yang sah.
"Pemeriksaan saksi 67 orang, ahli 4 orang seperti dokter forensik, psikologi forensik, inafis, dan ahli pidana," ujar anggota Tim Hukum Polda Jabar.
Dalam persidangan itu, Tim Hukum Polda Jabar membacakan keterangan saksi-saksi yang pada pokoknya mengakui ada pengeroyokan dan pemerkosaan terhadap korban Vina dan Eky.
Hasil psikologi forensik
Tim Hukum Polda Jabar mengungkapkan hasil tes psikologi forensik yang menyimpulkan Pegi memiliki kecenderungan berbohong dan sikap manipulatif. Tes psikologi forensik tersebut mengetahui profil psikologis tersangka mulai dari inteligensi, kepribadian, status mental, serta mengevaluasi kredibilitas tersangka.
Menurut Tim Hukum Polda Jabar, Pegi kerap menghindari kontak mata dan gelisah saat dilakukan pemeriksaan. Pegi pun membutuhkan waktu untuk menjawab pertanyaan serta sering tidak tahu dan terbata-bata.
Saat penyidik memperlihatkan foto Vina dan Eky, terjadi perubahan emosi dalam diri Pegi. Namun, tidak dijelaskan bagaimana perubahan tersebut. Perubahan kondisi itu menyimpulkan indikasi Pegi mengetahui peristiwa pembunuhan.
"Bahwa dalam diri Pegi Setiawan ada sikap kecenderungan berbohong atau menutupi yang sebenarnya dan manipulatif, dan ada perbedaan cerita antara Pegi dan ayahnya saat ditanyakan peristiwa yang sama," kata anggota Tim Hukum Polda Jabar.
Pegi bawa 5 saksi
Tim kuasa hukum Pegi membawa lima saksi dalam sidang Praperadilan tersebut. Mereka ialah ahli hukum pidana Universitas Jayabaya Suhandi Cahaya, Suharsono alias Bondol teman kerja Pegi semenjak tahun 2016, Dede Kurniawan teman main Pegi di Cirebon semenjak tahun 2015, Agus pemilik proyek, dan Liga Akbar sebagai saksi di dalam BAP kepolisian.
Suhandi Cahaya, ahli hukum pidana ditanyai mengenai prosedur penetapan seseorang sebagai tersangka. Menurut dia, harus ada minimal dua alat bukti untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.
"Ya, harus dua-duanya kualitas dan kuantitas yang harus betul-betul yang punya konek dengan apa yang telah dilakukan oleh tersangka dan pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik," jawab Suhandi.
Hakim turut menanyakan prosedur penerbitan daftar pencarian orang (DPO) terhadap tersangka.
Suhandi pun menjawab untuk penetapan tersangka, seharusnya ada pemanggilan terlebih dahulu minimal dua kali. Hal itu merupakan aturan main yang tertuang dalam KUHAP.
"Ya, harus ada pemanggilan minimum dua kali sesuai KUHAP. Setelah itu, kalau tidak datang dipanggil, kewenangan dari penyidik dia bisa menjemput si tersangka," terang Suhandi.
Ahli dari Polda Jabar
Ahli dari pihak Polda Jabar Agus Surono mengatakan keterangan saksi diperlukan untuk penetapan tersangka seseorang, selain juga barang bukti berupa surat atau akun media sosial.
Ahli pidana dari Universitas Pancasila ini menjelaskan penetapan tersangka dalam kasus pidana minimal harus memiliki dua alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 ayat 1 KUHAP. Alat bukti dimaksud yaitu keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Terkait keterangan saksi, Agus merinci saksi tersebut harus yang melihat, mendengar atau mengetahui suatu peristiwa pidana. Akan tetapi, lanjut Agus, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), saksi tidak selalu yang melihat dan mengetahui tindak pidana.
Dalam keterangannya, Agus menyatakan surat-surat atau dokumen dan media sosial seperti akun Facebook dapat dikualifikasikan sebagai alat bukti untuk menetapkan tersangka dalam kasus pidana.
Keterangan itu merupakan jawaban atas pertanyaan yang dilayangkan oleh pihak termohon dalam hal ini Tim Hukum Polda Jabar.
"Kualifikasi surat itu tentu ada di dalam Pasal 187 KUHP dan ada beberapa dalam huruf a, huruf b dan huruf c, yang paling pas apa yang tadi saudara tanyakan kepada saya itu adalah berkaitan dengan 187 huruf b-nya yaitu surat yang dibuat oleh pejabat yang mempunyai kewenangan, maka apa yang tadi ditanyakan kepada saya masuk dalam kualifikasi 187 huruf b-nya tadi," terang Agus.
"Jadi, memang akun Facebook itu bisa saja jadi kualifikasi sebagaimana alat bukti, namun tidak masuk dalam kategori surat. Tapi, ini bisa dijadikan sebagai petunjuk meskipun nanti akan dikonfirmasi lagi dalam pemeriksaan pokok perkara," sambungnya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]